“Tumben, udah bangun?”
Jinhyuk sedikit terkejut saat seseorang menyapanya pagi itu. Jinhyuk tinggal sendiri di sebuah apartment dan tidak mungkin ada orang yang dapat menyapanya di jam tujuh tanpa mengabarinya terlebih dahulu.
“Maaf, aku tadi langsung masuk karena passwordnya belum kamu ubah”
Jinhyuk mengangguk lemah. Sesungguhnya, nyawanya belum benar-benar terkumpul tapi ia sudah di hadapkan oleh pria mungil yang sedang asik mengaduk kopi di dapur milik Jinhyuk.
“Aku mau ambil barang-barangku yang masih ketinggalan, tapi karena tadi kamu maish tidur, aku gaberani masuk kamar. Mau kopi?”
Jinhyuk menatap Wooseok dan mengangguk setelahnya. Satu cangkir kopi panas dan roti panggang sudah tersaji di atas meja makan Jinhyuk pagi itu. Sebuah pemandangan yang sudah jarang di dapatkan sebulan belakang tersebut.
“Mau pergi? Kok tumben bangun pagi?”
Jinhyuk terkekeh kecil. Pertanyaan Wooseok seakan menyindir dirinya yang tidak terbiasa bangun pagi. Padahal, Jinhyuk terlalu terbiasa bangun pagi selama tiga tahun belakang selama Wooseok tinggal bersamanya.
“Udah kebiasaan, lumayan punya banyak waktu agak banyak buat bengong”
Kali ini Wooseok yang tertawa karena jawaban yang dilontarkan Jinhyuk diluar ekspektasinya. Waktu bangun pagi yang digunakan untuk berdiam, jelas bukan pribadi Wooseok. Karena Wooseok akan langsung mandi dan menyiapkan sarapan setelah bangun pagi.
“Sarapan, Hyuk! Jangan biasain skip sarapan. Tau kan kalo sarapan itu penting!”
Jinhyuk menatap Wooseok yang sedang asik memotong kecil roti dalam genggamannya, Sarapan; hal yang biasa dilakukan Woosok. Dahulu, Jinhyuk suka melihat Wooseok membuatkannya sarapan. Ya, Jinhyuk hanya melihat Wooseok membuat sarapan tanpa membantunya.
Dulu, Jinhyuk hanya akan diam di meja makan dan memperhatikan Wooseok sibuk di dapur. Membuat kopi hangat, roti panggang atau menu sarapan sederhana lainnya. Hal yang dilakukan Wooseok yang tidak bisa di kerjakan Jinhyuk saat ini.
“Kalo aku buat sarapan sendiri, bisa-bisa apartmenku kebakaran kali, Seok!”
Wooseok menatap tajam Jinhyuk, membuat Jinhyuk yang awalnya ingin tertawa menjadi menahan tawanya. Wooseok tidak suka jika sebuah musibah dijadikan becandaan. Banyak hal yang dapat dijadikan bahan becandaan, tetapi tidak dengan musibah.
“Gimana, tempat kamu udah rapih?”
Jinhyuk berusaha menghangatkan kembali suasana diantara mereka berdua. Wooseok mengangguk setelah beberapa saat memikirkan pertanyaan Jinhyuk.
“Udah, makanya aku kesini buat ambil barang yang kecil-kecil. Boleh masuk kamar?”
“Hm? Masuk aja, kan kamar kamu juga”
“Dulu, sekarang kan udah beralih lagi jadi kamar pribadi kamu”
Jinhyuk mengangguk sebelum membukakan pintu kamarnya untuk Wooseok dan detik berikutnya Jinhyuk meringis, mendapati betapa berantakan kamar pribadinya. Baju yang berserakan, sprei yang sudah tidak tertata rapih bahkan hampir terbuka sepenuhnya dan selimut yang bergulung di tengah kasur.
Jinhyuk berlari kecil memasuki kamarnya, mengambil beberapa potong baju yang berserakan di lantai, mengambil selimut dan melipatnya lalu merapihkan sprei seperti semula.
“Kayanya kamu salah deh pasang sprei, panjangnya beda tuh”
Jinhyuk mengernyitkan keningnya bingung. Ia baru sadar, selama tiga hari ini ia selalu disibukan dengan sprei yang selalu tak tentu arah yang ternyata di sebabkan oleh kebodohan dirinya sendiri.
“Jangan lupa, ganti sprei minimal seminggu sekali”
Wooseok telaten merapihkan sprei Jinhyuk, membuat Jinhyuk berdiri menatap Wooseok bekerja. Jinhyuk rindu Wooseok dan semua kebiasaannya di apartment tersebut.
Jinhyuk rindu, bagaimana kebiasaan bangun pagi Wooseok membuatnya terbiasa bangun pagi juga. Jinhyuk rindu, bagaimana Wooseok menyiapkannya sarapan padahal saat tinggal seorang diri, Jinhyuk jarang sekali menyatap makan paginya. Jinhyuk rindu semua, rindu saat orang yang pertama dan terakhir kali ia lihat setiap harinya ialah Wooseok.
fin