semestakapila

Juyeon tahu ada yang tidak beres dengan kekasihnya. Chanhee sejak tadi sibuk dengan gawai pintarnya dan mengabaikan semua cerita Juyeon tentang penampilannya tadi. Ujung mata Juyeon sekilas melihat jika sang kekasih sedang membuka aplikasi burung biru di gawai pintarnya.

“Serius banget, yang” Juyeon menjawil dagu Chanhee pelan tetapi membuat sang kekasih mendecak malas.

“Kenapa sih? Aku perhatiin tuh kamu bete banget? Capek?” Juyeon mengemudikan mobilnya hanya dengan sebelah tangan karena tangan lainnya ia gunakan untuk mengusak surai sang kekasih.

“Malem ini berhasil dapetin picknya Juye, siapa tau selanjutnya bisa dapetin hatinya” Chanhee berucap dengan nada meledek. Hal itu membuat Juyeon terdiam sejenak sebelum tertawa renyah.

“Siapa itu yang bilang?” Juyeon mencoba menarik sebelah tangan Chanhee untuk ia genggam.

“Fans kamulah! Aku kan udah bilang, jangan macem-macem di atas panggung. Bener kan ada yang baper?” Chanhee merajuk dan mendecak sebal.

“Ada yang baper sama ada yang cemburu, ya?” Juyeon melirik sekilas ke arah Chanhee. Ibu jarinya ia gerakan berputar di atas punggung tangan sang kekasih.

“Hah? Aku engga cemburu kok!” Chanhee mencoba melepas genggaman tangan Juyeon, tetapi selalu gagal ia lakukan.

“Hahaha aku engga bilang kamu yang cemburu loh. Aku cuma bilang ada yang cemburu. Kalo gitu, kamu cemburu ya?” Chanhee mengerucutkan bibirnya, malas menjawab pertanyaan Juyeon tersebut.

“Nanti aku reply tweet orang itu, ya? Aku bilang kalo hati aku udah ada yang milikin” Chanhee melirik ke arah Juyeon saat sang kekasih mengecup punggung tangannya sesaat setelah mengakhiri kalimat terakhirnya.

“Wah asik nih kalo aku semakin terkenal. Semakin banyak yang suka sama aku, terus...”

“Terus semakin aku sering cemburu, gitu?” Chanhee memotong perkataan Juyeon dan membuat Juyeon kembali tertawa.

“Soalnya kamu kalo cemburu tuh lucu, sayang. Aku suka liatnya, gemes!!” Chanhee mendecak sebal saat Juyeon mencubit sebelah pipinya. Tetapi, disisi lain pipi Chanhee menghangat karena perlakuan Juyeon tersebut.

kapila

Menemani Juyeon mengisi sebuah acara bukanlah hal baru bagi Choi Chanhee. Bahkan, Chanhee terkadang juga menemani kekasihnya tersebut berlatih bersama teman-temannya. Seperti sore ini, saat Juyeon akan tampil di salah satu universitas ternama.

Juyeon tidak sedetikpun melepas genggaman tangan kirinya dari tangan kecil sang kekasih. Walaupun dirinya membawa bass pada lengan kanannya, tangan kirinya tetap protektif menggenggam sang kekasih agar tidak terpisah jauh.

“Cuy, tolong anterin Kak Juyeon ke ruangannya.” Chanhee sekilas melirik saat seorang panitia memberikan perintah kepada panitia lainnya.

Acara di kampus tersebut sudah dimulai sejak pukul satu siang, jadi tidak heran jika tempat dilangsungkannya acara tersebut sudah penuh sesak oleh penonton dari dalam maupun luar kampus.

Juyeon sesekali melirik ke belakang, memastikan Chanhee tetap berada di belakangnya. Ia memastikan sang kekasih tetap merasa nyaman di tengah kerumunan sore itu.

“Kak Juyeon!” Juyeon maupun Chanhee serempak menoleh saat sebuah suara memanggil nama bassist tersebut. Juyeon sedikit menganggukan kepala sebagai tanda sapa untuk orang-orang yang memanggilnya.

“Kamu tunggu disitu aja ya? Aku mau rapat bentar sama anak-anak lain.” Chanhee mengangguk mengerti dan tidak lupa mengambil alih bass serta ransel yang sebelumnya dibawa Juyeon untuk ia letakkan di dekatnya.

Setidaknya, lima belas menit waktu yang dibutuhkan teman-teman Juyeon untuk mengadakan rapat kecil sebelum Juyeon kembali menghampiri Chanhee. Ia tersenyum dan mengaka surai sang kekasih, membuat Chanhee merengut lucu.

“Nanti kamu mau nonton dari depan apa samping panggung kayak biasa?” Chanhee berfikir sejenak. Memikirkan banyaknya kerumuman yang akan berkerumun di depan panggung, membuat Chanhee kembali memilih menyaksikan sang kekasih dari samping panggung saja.

Seorang panitia masuk dan mengatakan agar Juyeon dan teman-temannya bersiap karena dalam lima belas menit, mereka akan memulai penampilan mereka. Chanhee tau apa yang biasa dilakukan sang kekasih sebelum naik ke atas panggung, karena di hadapannya saat ini Juyeon sedang memeriksa kondisi sekitar.

“Good luck!” Chanhee berucap dalam pelukan Juyeon. Tangannya mengusap punggung Juyeon menenangkan. Walaupun sudah sering tampil di hadapan banyak orang, Juyeon tetap akan gugup beberapa menit sebelum naik ke atas panggung.

Chanhee mengikuti langkah Juyeon untuk keluar dari ruang tunggu dan berjalan menuju panggung utama. Teriakan penonton mulai terdengar, bahkan beberapa meneriaki nama Juyeon dan hal itu membuat Chanhee tersenyum bangga.

“Jangan macem-macem di atas panggung, ya! Jangan bikin anak orang baper” Chanhee meledek Juyeon sebelum kekasihnya naik ke atas panggung. Satu kecupan di kening dirasakan Chanhee sebelum sang kekasih benar-benar menaiki panggung malam itu.

kapila

Hyunjae sedang menggenggam sebuah botol minuman isotonik serta handuk kecil ketika seorang remaja tanggung menghampirinya.

“Juyeon hebat, seperti biasa!” Hyunjae remaja menyerahkan minuman isotonik itu sembari menyeka keringat yang membanjiri wajah Juyeon.

“Maaf ya, kamu selalu kepanasan kalo nungguin aku” Juyeon mengipas-kipas kecil telapak tangannya di depan wajah Hyunjae hingga membuat Hyunjae tersenyum manis.

“Juyeon kan ganteng, kenapa engga mau jadi model juga kayak Hyunjae? Jadi kita bisa casting kesana kemari bareng-bareng! Pasti seru kerja bareng.

Juyeon hanya dapat tersenyum mendengar ucapan Hyunjae sore itu. Ia tidak melayangkan protes atapun ucapan lainnya yang dapat menyakiti hati Hyunjae.

“Hyunjae izinin Juyeon dulu ya buat jadi Pembalap Professional. Kalo nanti, Juyeon udah sukses, Juyeon coba jadi model kayak Hyunjae. Biar kita bisa kerja bareng!”

“Loh emang Pembalap bisa jadi model?” Hyunjae tertawa karena ia tidak mengetahui faktanya saat itu. Banyak pembalap yang menjadi model pakaian olahraga hingga minuman isotonik seperti yang digenggam Juyeon sekarang.

Fikiran Juyeon berkelana tepat ke tahun-tahun saat dirinya masih ikut klasifikasi pembalap junior. Hyunjae tidak pernah absen menonton pertandingan Juyeon saat itu. Ia selalu duduk di tribun utama dengan sebuah botol minuman dan handuk di tangannya.

“Lo yakin, Juy? Kita coba bilang ke Team dulu. Untuk masalah clothing brand itu, nanti gue yang maju deh soalnya kebetulan gue kenal atasannya”

Juyeon tertawa mendengar penjelasan Kevin barusan, “Yakin cuma kenal?” Ledekan Juyeon berhasil membuat wajah Kevin merah padam.

“Tapi kita tetep harus ngomong sama Team, pihak clothing brand sama Management Hyunjae. Banyak hal yang kita harus lakuin sebelum lo benar-benar banting stir.”

“Setahun cukup, kan? Sekalian gue nyelesaiin musim terakhir gue” Kevin menatap Juyeon dalam. Teman sekaligus rekan kerjanya itu selalu sungguh-sungguh dalam menjalankan segala sesuatu sehingga Kevin tidak akan pernah ragu untuk membantunya.


“Iya, Kev. Lo tenang aja. Masalah Sangyeon udah selesai kok. Hal kayak gini tuh biasa, apalagi dia Aktor terkenal dan fansnya banyak. Jadi, ibaratnya tuh dia tetep akan ada yang bela dan dukung walaupun dia mundur atau ngelakuin sesuatu secara tiba-tiba.”

Perbincangan Kevin dan Chanhee sore itu sedikit banyak membuat Juyeon bernafas lega. Masih ada beberapa pertandingan lagi hingga ia baru benar-benar dapat memeluk Hyunjae dan mendengarkan seluruh cerita langsung dari tunangannya itu.


“Lo tetap akan menjadi bagian dari Tim ini kok, Juy. Kita tau gimana lo selalu kerja keras, jadi kita akan terus support apapun pilihan lo.”

“Sorry ya, gue kesannya ngemis kerjaan ke orang lain. Padahal gue punya segala sesuatu di LJY Team yang udah gue anggap rumah sendiri.”

Rapat yang entah sudah dilaksanakan sore hari itu berlangsung sedikit sendu. Perpisahan Juyeon dengan LJY team semakin terlihat di depan mata.

“Kalo lo jadi model, jangan lupa ya sponsorin kita!” Juyeon tertawa terbahak saat mendengar celetukan pemimpin timnya.

“Pas gue nikah, lo semua pokoknya harus dateng. Gue bakalan cek siapa aja yang absen pas gue nikah nanti.” Seluruh anggota LJY Team tertawa. Pelukan demi pelukan diterima Juyeon malam itu. Ia resmi pensiun dari dunia balap yang telah membesarkan namanya tersebut.

kapila

Siapa yang dapat menahan tangis ketika sahabatnya berhasil meraih kebahagiaannya lagi? Jelas, bukan Chanhee jawabannya. Lelaki itu kini sedang tersedu melihat Changmin mengucap janji setia semati bersama Hyunjae, pasangan yang ia pilih.

“Tisu?” Chanhee menoleh dan tersenyum sebelum mengambil selembar tisu yang diberikan Juyeon kepadanya. Tidak ada perbincangan diantara keduanya hingga upacara sakral pernikahan tersebut berakhir.

“Oh jadi Hyunjae itu mantan lo?” Chanhee tertawa melihat bagaimana Juyeon menganggapi ucapannya barusan. Keduanya memilih masuk ke dalam barisan untuk memberikan selamat kepada sepasang lelaki yang sedang berbahagia tersebut.

“Kak... Selamat! Inget kan apa yang gue bilang dua tahun lalu? Masih berlaku loh sampe sekarang” Hyunjae tersenyum dan mengangguk mengerti. Chanhee pun menggeser sedikit posisinya agar tepat berada di depan Changmin dan memeluk sahabatnya erat.

“Lo harus bahagia terus, pokoknya! Kalo Hyunjae nakal, bilang ke gue.” Changmin mengangguk dalam pelukan tersebut dan saat Chanhee melepas pelan pelukannya, ia melihat bulir air mata di pelupuk mata Changmin.

“Jangan nangis! Hari ini lo harus bahagia. Eh jangan hari ini doang, tapi seterusnya, ya?” Changmin kembali mengangguk sebelum menarik Chanhee kembali dalam pelukannya.


“Ikut sana” Juyeon menunjuk panggung utama dimana Changmin telah bersiap melempar buket bunga sebagai salah satu rangkaian acara.

“Lo kan juga belum nikah, ikut jugalah!” Chanhee yang tertawa renyah itu berhasil menarik Juyeon ke dalam kerumunan. Juyeon tidak panik, tapi tetap sungkan karena ini kali pertama ia mengikuti acara lempar bunga seperti ini.

Tepat saat pembawa acara selesai menghitung mundur dan saat itulah Changmin melempar buket bunga yang ia genggam dan kerumunan tersebut semakin tidak terkendali, membuat Juyeon berusaha menarik Chanhee agar tidak terseret dalam kerumunan.

Semua mata tertuju kepada Juyeon, karena buket bunga yang dilempar Changmin tadi berhasil ia ambil dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya merangkul Chanhee karena berusaha menjauhi lelaki tersebut dari kerumunan tadi. Semua orang bertepuk tangan tanpa terkecuali.


“Gimana, jadi ke Kafe itu?” Juyeon menghampiri Chanhee yang sedang duduk di sebuah kursi, sendirian.

“Lo nginep aja, gimana? Kita kesana besok aja? Gue capek banget, asli!” Chanhee memijat pelan kakinya yang sepanjang hari berjalan kesana kemari membantu apapun yang dapat ia bantu.

“Apaan nih?” Tanya Chanhee bingung saat Juyeon memberikannya buket bunga yang didapat Juyeon tadi.

“Tawaran gue setahun yang lalu masih berlaku loh!” Chanhes tertawa, mengingat tawaran Juyeon tahun lalu. Tanpa fikir panjang, ia menerima buket yang di genggam Juyeon itu.

“Bawa baju ganti, kan? Yuk ikut gue” Juyeon tersenyum dan berjalan mengikuti langkah Chanhee. Tanpa sepengetahun Chanhee dan Juyeon, Changmin dan Hyunjae tersenyum melihat pemandangan yang disajikan keduanya tadi.

kapila

Dua puluh menit adalah waktu yang telah dihabiskan Changmin duduk sendiri di sebuah kafe. Satu gelas blackcurrant tea yang ia pesan tepat setelah ia tiba di kafe tersebut pun sudah tandas isinya. Changmin baru saja ingin memesan minuman lain ketika sahabatnya, Chanhee tiba-tiba duduk dihadapannya.

“Haus, boss? Udah habis aja?” Changmin terdiam di tempat. Hal tersebut membuat Chanhee bingung melihat tingkah laku sahabatnya tersebut dan ia pun memutuskan memesan minuman untuk dirinya sendiri dan sahabatnya yang masih diam di tempat.

“Ngapain diem aja, deh? Lo biasanya paling heboh cerita dari A sampe Z kalo lama engga ketemu gue” Changmin menatap Chanhee lama dan hal itu kembali membuat Chanhee risih. Hampir saja Chanhee akan melempar tisu ke arah Changmin jika saja lelaki tersebut tidak segera angkat bicara.

“Gue ditembak Kak Hyunjae...” Chanhee tersedak mendengar penyataan sahabatnya tersebut. Changmin yang panik pun mengambil beberapa helai tisu dan diberikan kepada sahabatnya. Pandangan Changmin tidak lepas dari Chanhee yang sedang menyeka bibirnya tersebut.

“Ya, terus? Kalo lo suka, terima aja. Gue kan udah bilang dari awal pas lo barudeket sama Kak Hyunjae, kalo gue sama Kak Hyunjae ga ada hubungan apapun lagi. Engga ada tuh Sisa rasa kayak lagunya Mahalini, engga ada kok santai”

Changmin menatap Chanhee, mencari kebohongan dari setiap kata yang dilontarkan, tapi nihil. Chanhee benar-benar sudah tidak mempunyai rasa apapun terhadap Hyunjae dan sesuai dengan perkataan Chanhee, apapun keputusan yang ingin dibuat Changmin kali ini haruslah dari hatinya sendiri dan bukan karena Chanhee atau orang lain.

Pertemuan pertama Changmin dan Hyunjae di depan lift berlanjut hingga saat ini. Hyunjae beberapa kali mengajak Changmin makan siang bersama, bahkan tak jarang ia mengajak Changmin pulang bersama dikarenakan Hyunjae yang malas sendirian di mobil di tengah kemacetan. Hingga akhirnya, dua hari yang lalu Hyunjae menyatakan perasaannya kepada Changmin, tepat lima bulan setelah pertemuan pertama mereka.

“Aku bilang kalo aku sayang sama kamu itu, karena aku beneran sayang sama kamu. Aku nyaman sama kamu dan bukan karena Chanhee. Jangan salah paham, ya?” Fikiran Changmin kembali pada kejadian dua hari yang lalu dan itu kembali membuat Changmin terdiam di tempat.

“Oke, lo ceritain ke gue. Apa yang bikin lo ragu sama Kak Hyunjae? Kalo gue masuk dalam list keraguan lo, gue harap lo bisa hapus nama gue. Karena gue, beneran udah ga ada rasa apapun sama dia” Changmin mengangguk paham dan ia mulai menceritakan hal yang memang ia pendam selama lima bulan dekat dengan Hyunjae tersebut.

“Gue putus sama Hyunjae tuh udah tiga tahunan, lo putus sama Juyeon udah hampir satu tahun. Jangan karena masa jomblo gue lebih lama, terus lo mau sok-sokan solidaritas ya! Please, nanti gue males temenan sama lo” Changmin tertawa mendengar perkataan sahabatnya tersebut. Chanhee dengan segala ceplas-ceplosnya saat berbicara itulah yang membuat Changmin nyaman.

“Lo sih jomblo tapi engga rasa jomblo ya? Kemarin lo ga bisa gue ajak jalan, habis jalan sama siapa lagi lo?” Changmin menatap sahabatnya tajam dan Chanhee hanya mengalihkan pandangannya ke lain arah tanpa menjawab pertanyaan Changmin tersebut.

“Kalo lo sayang sama dia, bilang! Kalo emang masih butuh waktu, juga bilang aja. Ah gue inget, lo bilang kalo Hyunjae sekarang makin hot kan? Yakin mau melewati hal itu?” Ledekan Chanhee sukses membuat Changmin melempar sampah tisu yang bertebaran di meja.

Tanpa ada hal yang ditutupi satu sama lain, sore itu kedua sahabat yang telah berteman selama tiga belas tahun tersebut tertawa puas di dalam kafe hingga membuat beberapa mata menatap mereka jengah.

“Nanti gue chat Kak Hyunjae, gue bilang harus jagain lo. Kalo dia bikin lo nangis kayak si Juyeon, gue botakin!” Changmin kembali tersenyum mendengarnya.

“Chan, tapi gue sama Juyeon udah ga apa-apa kok. Emang murnis salah paham aja. Gue yang awalnya minta break, tapi ketika kita bener-bener udah engga nyariin satu sama lain, gue yang masih kayak cacing kepanasan. Juyeon juga bilang, jangan memaksakan hal yang engga mungkin dilanjutin dan gue setuju sama hal itu” Chanhee tersenyum bangga mendengar penyataan sahabatnya tersebut.

“Wah temen gue udah gede beneran nih? Bisa lah dua tahun lagi nikah, ya?” Chanhee mengusak puncak kepala Changmin gemas.

“Nikah sama Kak Hyunjae?” Pertanyaan Changmin yang tiba-tiba itu sukses membuat keduanya kembali tertawa puas.

kapila

Malam itu, Changmin sudah berada di dalam mobil Hyunjae. Dibandingkan rasa takut karena akan bertemu orang tua sang kekasih, perasaan Changmin malam itu lebih tepat jika di deskripsikan sebagai perasaan sedih. Sedih karena idolanya akan mengikat orang lain sebagai calon pendamping hidupnya.

Mata Changmin mengerjap beberapa kali ketika mobil yang dikemudikan Hyunjae memasuki wilayah elite. Changmin sangat tahu jika Hyunjae berasal dari kalangan kaya raya, tetapi ia tidak pernah berfikiran jika kekasihnya benar-benar kaya raya. Ji Changmin dibuat berdecak kagum dengan bangunan di sekitarnya.

Hyunjae mulai mengurangi kecepatan mobilnya saat jalanan terasa semakin menyempit karena banyaknya karangan bunga di sisi kanan serta sisi jalan. Changmin harus menyipitkan matanya agar dapat membaca tulisan pada setiap karangan bunga yang ia lewati, tetapi usahanya tersebut gagal bahkan hingga Hyunjae menghentikan laju mobilnya.

“Ayok, turun!!” Hyunjae menggandeng tangan Changmin dengan protektif. Setiap orang yang mereka lewati sejak di luar hingga ke dalam rumah itu menyapa Hyunjae dengan ramah.

“Kita ke mami papi dulu ya? Kalo acara udah mulai, mereka pasti susah ditemuin” Changmin mengangguk setuju walau banyak sekali pertanyaan di dalam otaknya saat ini.

Jantung Changmin baru berdegup cepat saat melihat beberapa orang yang usianya jauh lebih tua dari dirinya. Ia baru sadar bahwa ia akan segera bertemu dengan orang tua kekasihnya. Changmin mengeratkan genggaman tangannya sehingga membuat Hyunjae menoleh dan tersenyum.

“Tenang, mereka engga gigit kok! Paling nyubit sedikit, soalnya kamu lucu” Gombalan yang Hyunjae lontarkan tidao mampu membuat Changmin lebih tenang, karena jantung lelaki tersebut justru berdetak semakin cepat.


Perkenalan dengan orang tua Hyunjae terjadi begitu saja. Changmin bersyukur karena dirinya tidak memalukan di depan orang tua sang kekasih. Tetapi, sebuah pertanyaan menambah beban pikirannya saat ini. Sebuah nama yang diucapkan Hyunjae saat berbicara dengan orang tuanya.

“Ke kamar abang kamu dulu sana, temenin dia sebelum acara”

“Sangyeon kan udah gede, mi! Masa masih harus ditemenin?”

Changmin berfikir, nama tersebut tidak mungkin hanya dimiliki satu orang di negaranya. Orang dengan nama tersebut tidak mungkin orang yang sama yang malam ini juga mempunyai sebuah acara sakral dalam hidupnya.

Hyunjae membawa Changmin ke lantai dua rumah tersebut. Suasana di lantai dua lebih sepi dibandingkan lantai satu dimana pusat acara dilaksanakan. Langkah Changmin yang terhenti, membuat Hyunjae ikut menghentikan langkahnya.

“Nanti aku jelasin, ya? Kita ketemu abang dulu” Changmin mengeryitkan keningnya. Sebuah foto keluarga yang terpasang pada dinding rumah adalah sebab mengapa ia menghentikan langkahnya.

“Akhirnya! Berani nikahin anak orang juga lo, bang?” Changmin tidak mampu melanjutkan langkahnya sesaat setelah Hyunjae membuka pintu sebuah kamar. Disana, Sangyeon berdiri dengan tampan sambil tersenyum.

Sangyeon, aktor favorit yang selama ini ia sering ceritakan kepada Hyunjae itu sedang berdiri di hadapannya. Bahkan Hyunjae memeluk Sangyeon erat seakan mereka adalah dua orang yang telah mengenal lama satu sama lain.

“Sayang, sini! Kenalin, ini abang aku... Lee Sangyeon” Entah, Changmin bingung harus bahagia atau sedih malam itu. Berjabat tangan dengan Sangyeon terasa tidak nyata walau hal tersebut benar-benar baru terjadi beberapa detik yang lalu.

Changmin masih terdiam mencerna semua yang terjadi hingga tepuk tangan riuh menyadarkannya saat Sangyeon selesai bertukar cincin dengan tunangannya.

kapila


“Acara keluarganya emang kira-kira, kapan?” Pertanyaan Sangyeon malam itu membuat Hyunjae menatap Sangyeon dengan tatapan tidak senang, tetapi lelaki manis tersebut tetap tersenyum sebelum menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya.

“Kalo gue bilang, gue mau nikah. Lo percaya?” Hyunjae berucap sambil tersenyum manis. Reaksi terkejut yang Hyunjae fikir akan muncul dari diri Sangyeon, ternyata tidak terjadi. Sangyeon justru tertawa renyah, membuat Hyunjae mengernyitkan keningnya bingung.

“Hahaha iya percaya, dong? Semua orang kan pasti mau nikah. Tapi, waktunya kapan itu kita yang gatau, kan?” Sangyeon menatap Hyunjae dan lelaki yang ditatap Sangyeon tersebut mengangguk pelan, ia mengerti maksud dari pekataan Sangyeon.

“Kalo gue udah tau, kapan gue mau nikah dan sama siapa gue mau nikah. Makanya sekarang gue cari tempat, buat nentuin sekiranya enaknya nikah dimana dengan konsep apa” Lagi, Hyunjae berucap dengan santai.

“Kamu serius?” Sangyeon menatap Hyunjae bingung. Reaksi yang Hyunjae tunggu sejak terjadi akhirnya dapat ia lihat langsung. Hyunjae tau, mungkin saat ini ia gegabah, tapi ia tidak mau lagi bermain dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

“Maaf kalo bikin lo kaget. Gue, punya tunangan, Sangyeon... Gue engga bisa bilang dia siapa, tapi itu tidak menjadikan gue berbohong tentang tunangan gue, ya? Gue beneran udah tunangan, tepat saat kita balik dari liburan waktu itu” Sangyeon terdiam. Ia berusaha mencari kebohongan dari perkataan Hyunjae, walau ia tidak menemukan hal tersebut.

“Terus maksud lo cium gue pas liburan apa? Lo ngeiyain perpanjang kontrak ini, buat apa? Lo gunain gue buat batu loncatan lo?” Hyunjae memijat keningnya saat mendengar tuduhan Sangyeon. Sebuah tuduhan yang tidak jelas sama sekali kebenarannya.

“Gue lurusin satu persatu, oke? Pertama, gue cium lo karena game. Kedua, gue perpanjang kontrak sama TBZ Brand, karena gue emang suka sama produk mereka. Ketiga, gue engga pernah punya niatan menjadikan lo batu loncatan karena dari dulu gue selalu berusaha sekuat tenaga untuk dapetin semua ini” Hyunjae berusaha menahan intonasi suaranya agar tetap tenang, walau sejujurnya ia menahan emosi di dalam hatinya.

“Orang yang kasih cincin ini ke gue adalah orang yang paling sabar dan paling ngertiin gue. Dia engga pernah sama sekali menuduh gue seperti apa yang lo barusan lakukan ke gue. Dia engga marah saat tau gue cium cowok lain, dia bahkan yang meyakinkan gue untuk tetap perpanjang kontrak dengan TBZ Brand karena dia tau bahwa gue akan bahagia kerja dengan Brand favorit gue.” Hyunjae menarik nafasnya panjang saat mengucap kalimat terakhirnya. Di hadapan Hyunjae, Sangyeon menggertakan giginya, ia menahan marah dengan lelaki di hadapannya tersebut.

“Kalo lo sadar, gue beberapa kali menolak untuk pergi berdua sama lo atau apapun itu yang hanya melibatkan kita berdua, Karena apa? Karena gue tau, ada orang yang menjaga hatinya buat gue dan gue juga harus menjaga hati gue buat dia.” Hyunjae tersenyum. Bukan senyum meremehkan, tetapi senyum yang menunjukan bahwa ia puas telah mengatakan semuanya kepada Sangyeon malam itu.

“Gue minta maaf kalo lo ngerasa bahwa gue mempergunakan lo selama ini. Gue harap, kita bisa tetap menjalin hubungan profesional sebagain rekan kerja atau mungkin sebagai teman?” Hyunjae mengulurkan tangannya, tetapi Sangyeon tidak menerima uluran tangannya tersebut dan justru pergi meninggalkan Hyunjae.

“Lo gila?” Chanhee yang sejak tadi hanya memperhatikan semua drai jauh itu akhirnya menghampiri Hyunjae yang terduduk lemas.

“Gue harus, Chan! Gue engga mau Sangyeon semakin berusaha deketin gue. Nanti gue semakin bikin dia sakit hati, ketika dia tau semuanya dari media” Chanhee mengerti, keputusan yang diambil Hyunjae malam itu tidaklah mudah dan Hyunjae telah tepat melakukan semuanya.

kapila

Hyunjae fokus menatap layar komputer jinjing miliknya yang menampilkan seorang lelaki dewasa yang sedang termenung lemah. Hyunjae beberapa kali menyunggingkan senyum, berharap sang lawan di sebrang sana ikut tersenyum bersamanya walaupun gagal.

“Maaf...” Hyunjae mengernyitkan keningnya bingung. Kata pertama yang terucap dari bibir sang kekasih yang berjarak ratusan kilometer itu justru kata maaf. Sebuah kata yang menurut Hyunjae tidak diperlukan untuk saat ini.

“Sayang liat aku dulu, please?” Juyeon belum sempat mengucapkan kata selanjutnya ketika Hyunjae berbicara dan membuat dirinya menatap Hyunjae dengan tatapan lesu. Juyeon menatap seseorang yang terlampau manis parasnya itu, membuat dirinya ingin sekali memeluknya sosok tersebut saat itu juga.

_“Aku ga pernah bilang kamu harus selalu juara, kan? Aku cuma minta kamu untuk hati-hati dan terluka. Bagi aku, juara itu bonus. Tapi, lihat kamu sehat kayak sekarang itu sebuah hadiah yang terlampau besar.” Juyeon akhirnya menyungginkan senyum pertamanya malam itu dan Hyunjae ikut tersenyum setelahnya.

_“Maaf, bukannya aku bermaksud meremehkan usaha kamu. Tapi, beneran deh tadi kamu hebat, bahkan terlampau hebat. Kamu berhasil kembali ke posisi setelah hampir jatuh, kan? Kamu hebat, sayang...” Ucap Hyunjae lagi. Setelah ucapan Hyunjae tersebut, keduanya hanya dapat terdiam. Suasana pun kembali hening.

“Kenapa? Ada yang mau kamu tanyain ke aku? Atau ada hal yang ganjel di hati kamu?” Bingo! Hyunjae menebak dengan sangat tepat, karena setelahnya Juyeon menegakkan tubuhnya untuk kembali membuka suara.

“Kamu nonton? Pertandingan tadi, kamu nonton?” Juyeon bertanya terlampau lemah. Hyunjae mengangguk antusias walau tiga detiknya ia mengerucutkan bibirnya lagi, _“Tapi maaf, cuma beberapa lap terakhir dan itu pas kamu hampir tergelincir...” Hyunjae berujar dengan sama pelannya.

“Sayang... Kenapa sekarang jadi gantian kamu yang sedih?” Juyeon terkekeh pelan yang justru membuat Hyunjae semakin mengerucutkan bibirnya. Juyeon tertawa puas melihatnya.

Hyunjae dan Juyeon larut dalam percakapan yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Tanpa mengingat apa yang terjadi beberapa hari kebelakang, keduanya bercerita tentang hari mereka. Bercerita tentang apa yang mereka lakukan bahkan apa yang mereka makan beberapa hari ini.

kapila

Hening adalah situasi yang paling tepat yang dapat mengambarkan keadaan di dalam mobil Juyeon malam itu. Suara deru mobil, pendingin mobil dan suara tipis dari radio berputar bahkan dapat terdengar jelas. Juyeon dan Hyunjae, dua lelaki dewasa yang berada di dalam mobil tersebut hanya dapat diam. Juyeon fokus dengan jalanan di hadapannya dan Hyunjae hanya dapat menunduk sambil memainkan kukunya.

“Kita mampir sebentar ya? Kamu tadi belum makan proper. Junk food ga apa-apa, kan? Engga ada larangan dari agensi atau Chanhee?” Juyeon bertanya dengan nada yang terlampau tenang, sedangkan Hyunjae menatap Juyeon dengan tatapan takut dan bersalah.

Dua jam yang lalu, Hyunjae berlari kecil dengan diikuti Chanhee dibelakangnya. Setibanya di bandara, mereka memutuskan memanggil taksi dan berpisah dengan rombongan. Hyunjae dan Chanhee berhasil mengelabui awak media malam itu dan tiba di restoran mewah tanpa diketahui siapapun.

“Ah! Itu Hyunjae...” Juyeon dengan senyum terbaiknya itu berdiri dan menyambut Hyunjae yang sedang menetralkan deru nafasnya. Setibanya di meja dimana orang tuanya berada, Hyunjae tidak bisa melakukan apapun selain menunduk, pasrah.

“Puding cokelat kesukaan kamu, dimakan ya? Chan, Kevin di meja sana. Makan dulu aja...” Hyunjae menatap satu persatu wajah orang di meja tersebut, semua tenang menikmati sajian penutup malam itu.

Tidak banyak yang berbicara hingga piring-piring dibersihkan. Juyeon meminta Kevin mengantar kedua orang tuanya, sedangkan Chanhee memilih mengantar kedua orang tua Hyunjae menggunakan Taksi. Hal tersebut menandakan bahwa Hyunjae akan satu mobil bersama Juyeon malam itu.

“Maaf...” Hyunjae yang telah menggenggam satu bungkus makanan cepat saji berkata lirih. Juyeon menatap Hyunjae lekat sebelum kembali tersenyum dan mengusap puncak kepala kekasihnya tersebut.

“Mau makan disini atau di rumah aja?” Tanya Juyeon lembut, lelaki di sebelah Juyeon itu hanya dapat terdiam.

“Aku anter ke tempat kamu, ya? Tapi maaf engga bisa nginep, soalnya besok aku ada meeting terus lusa udah harus berangkat lagi” Juyeon masih tersenyum, senyum yang bahkan membuat Hyunjae sakit ketika melihatnya.


Hyunjae menahan pergelangan tangan Juyeon, mengisyaratkan agar lelaki tersebut tetap tinggal di unit apartmentnya malam itu. Malam itu, Juyeon terlampau banyak mengumbar senyum, walau Hyunjae tau bahwa Juyeon sedang tidak baik-baik saja. Sang rider melepaskan genggaman tangan Hyunjae dari pergelangan tangannya.

“Dihabisin ya makanannya? Terus tidur, kan pasti kamu capek. Nanti aku hubungi kalo udah sampe, ya?” Hyunjae tidak mampun menjawab maupun mengangguk. Juyeon berpamitan malam itu bersamaan dengan air mata Hyunjae yang tiba-tiba turun tanpa permisi.

Setelah Juyeon menutup pintu apartment Hyunjae, lelaki yang masih menggenggam satu bungkus makanan cepat saji itu terduduk lemah dan menangis. Ia bahkan bingung, mengapa malam itu ia menangis. Terlalu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Hyunjae perlu Juyeon malam itu, tapi Hyunjae tau bahwa ia tidak bisa lebih egois dari tadi. Hyunjae tau sebab dan akibat dari apa yang terjadi malam itu.

Kapila

Eric bergerak tidak nyaman di atas tempat tidurnya. Kasur berukuran 100 sentimeter kali 200 sentimeter tersebut terasa lebih sempit dari biasanya, penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena kasur tersebut di tempati oleh dua orang lelaki menuju dewasa tersebut.

Sunwoo, lelaki yang tidak terganggu sama sekali dengan sempitnya kasur tersebut tetap memfokuskan pandangannya kearah layar komputer jinjing milik kekasihnya, Eric. Sesekali Eric melirik dan mendapati Sunwoo yang tetap fokus terhadap film yang sedang berputar dihadapannya.

“Eh, ngapain Nu?” Tanya Eric panik, saat Sunwoo merubah posisinya. Tangan kanan Sunwoo saat ini berada di belakang kepala Eric. Posisi tersebut, sebenarnya dirasa lebih nyaman oleh Eric daripada posisi sebelumnya. Tetapi, karena posisi Sunwoo yang kian merapat kepadanya. Eric menjadi semakin tidak dapat tenang.

“Kenapa, Ric? Filmnya engga seru? Mau dimatiin aja, terus tidur?” Eric mengerjapkan matanya pelan sebelum melirik kearah jam yang terletak di meja belajarnya. Tidak ada jawaban dari Eric yang membuat Sunwoo menarik pelan lelaki di sebelahnya hingga mereka berhadapan.

Lampu di kamar Eric memang sudah dimatikan, tetapi berkat lampu tidur yang masih menyala itu membuat Sunwoo dapat dengan jelas melihat semburat merah di wajah kekasinya tersebut. Sunwoo tersenyum sebelum menarik hidung Eric, membuat sang empunya hidung mengaduh.

“Oke kita tidur aja! Mata kamu udah merah banget soalnya” Sunwoo pun memilih berdiri dan mematikan film yang masih berputar lalu menyimpan komputer jinjing milik Eric. Sedangkan Eric, mencoba menyamankan posisinya di atas tempat tidur.

“Aku tidur sini, kan?” Sunwoo berucap dengan polos, berharap sang kekasih mengizinkannya tidur bersamanya di atas tempat tidur. Senyum Sunwoo mengembang, saat Eric menyuruhnya tidur satu kasur dengannya.

“Di sini aja Nu, soalnya karpetnya belum dicuci lama” Eric menggeser tubuhnya hanya untuk memberikan sedikit ruang lebih agar Sunwoo dapat tidur di sebelahnya.


Jam sudah nenunjukkan pukul dua belas malam, tetapi baik Eric dan Sunwoo masih terjaga. Keduanya saling membelakangi tidur di atas kasur sempit itu. Sebuah pergerakan, membuat Eric melirik ke belakang dan mendapati Sunwoo sudah menghadap kearahnya.

Eric ikut merubah posisinya dan kini keduanya saling berhadapan. Tidak ada yang tau selain diri mereka sendiri jika jantung keduanya berdetak lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Eric beberapa kali mengalihkan pandangannya agar tidak beradu tatap dengan Sunwoo.

“Ric, maaf kalau aku lancang. Tapi, Sunwoo boleh cium Eric?” Sunwoo bertanya dengan pelan dan sopan sambil mengusap pipi kanan sang kekasihnya. Wajah Eric memanas dan dapat dipastikan jika wajahnya kini merah padam.

Eric menatap Sunwoo lekat selama beberapa detik sebelumnya akhirnya mengangguk pelan. Sunwoo menghentikan usapannya pada pipi Eric dan tangannya kini berpindah pada dagu sang kekasih guna mengikis jarak diantara keduanya.

Eric menutup matanya kala jaraknya dan Sunwoo semakin menipis. Eric bahkan dapat merasakan hembusan nafas Sunwoo selama beberapa detik sebelum akhirnya hilang dan membuat Eric kembali membuka matanya.

Eric dapat merasakan bibir Sunwoo menyapu bilah bibirnya. Eric menatap Sunwoo yang memejamkan matanya. Senyum kecil Eric muncul saat ia rasa Sunwoo menciumnya terlampau lembut. Lelaki yang lebih muda di kamar tersebut mengusap pelan pipi sang kekasih, membuat Sunwoo membuka matanya.

Keduanya tersenyum saat tanpa sengaja beradau tatap dengan bibir yang masih menyatu tanpa pergerakan. Sunwoo memberanikan diri memperdalam ciuman tersebut tetapi tetap berhati-hati, karena ia tidak mau menyakiti kekasihnya itu.

Malam itu, akhirnya Sunwoo dan Eric dapat tertidur pulas dalam dekapan masing-masing. Bahkan keduanya hampir saja melewatkan jam sarapannya, jika Haknyeon tidak mengetuk pintu kamar Eric pada pagi harinya.

kapila