Hyunjae tersenyum saat mendengar pintu rumahnya terbuka. Hyunjae tidak sedikitpun takut dengan sosok yang akan muncul di balik pintu tersebut, karena sosok tersebut adalah sosok yang setiap hari Hyunjae tunggu kedatangannya.
“Kak hyunjae.....” Hyunjae menoleh dan semakin melebarkan senyum di wajahnya saat seorang pria manis berjalan malas ke arahnya.
Hyunjae menggeser tubuhnya sedikit ke pojok sofa karena ia tahu, pria yang baru saja datang itu akan menjatuhkan tubuhnya di sofa dan meletakan kepalanya tepat di pangkuan Hyunjae.
“Kenapa lagi sih, Cil?” Tanya Hyunjae sambil mengusak rambut pria yang sudah berbaring di sofa dengan kepala di pangkuan Hyunjae, tepat seperti perkiraan dirinya beberapa menit lalu.
“Laporan aku di tolak sama asisten dosenku lagi” ucap pria manis tersebut dengan nada merajuk. Sebuah nada bicara yang selalu membuat Hyunjae ingin memeluk pria tersebut tanpa ingin melepaskannya lagi.
“Kenapa? Coba aku liat?” Pertanyaan Hyunjae itu membuat pergerakan dari pria manis tadi.
“Emang kak hyunjae ngerti?” Tanya pria tersebut lagi dan Hyunjae hanya dapat menahan tawanya yang justru membuat pria di hadapan Hyunjae itu membuang mukanya karena kesal.
“Lah kamu barusan laporan sama aku itu ngapain? Udah tau aku ga bisa bantuin, kenapa masih kesini?” Ucap Hyunjae menggoda.
“Mau masak mie instan apa beli nasi goreng aja?” Tanya Hyunjae saat tidak melihat pergerakan dari pria manis yang masih diam terduduk di atas sofa.
“Ji changmin....” Ucap Hyunjae lembut, Ji changmin pria yang duduk di sofa tersebut menoleh menatap Hyunjae dengan tatapan sayu.
“Aku cuma bisa temenin kamu revisi laporan tapi engga bisa bantuin bikin laporannya. Jadi, mau mie instan apa nasi goreng?” Tanya Hyunjae sekali lagi.
“Nasi goreng depan kompleks ya, kak? Tapi belinya jalan kaki ajaaa hehe” ucap pria manis bermarga Ji tersebut. Hyunjae menghela nafasnya berat sebelum mengangguk mengiyakan saran Changmin beberapa saat lalu.
“Kenapa minta jalan kaki sih, Cil?” Ucap Hyunjae yang berjalan disebelah Changmin menuju depan kompleks untuk membeli nasi goreng sesuai permintaan Changmin beberapa waktu lalu.
“Liat deh kak, banyak bintang! Kalo kita naik motor, mana bisa kita nikmatin liat bintang gini” Changmin menjawab sembari menatap langit hitam penuh bintang malam itu.
“Tapi jangan mentang-mentang liat bintang, kamu jadi ga liat jalan dong” ucap Hyunjae protes sambil menarik Changmin yang hampir terperosok ke dalam kubangan. Hyunjae akhirnya memutuskan menggenggam tangan Changmin yang masih asik menatap langit.
“Kan kalo ada kak hyunjae, aku ga perlu khawatirin apapun” ucap Changmin tersenyum sambil menggoyangkan genggaman tangannya bersama Hyunjae. Tanpa diketahui Changmin, Hyunjae berusaha menyembunyikan senyumnya dan menetralkan detak jantungnya yang berdetak terlampau cepat.
“Pak, nasi goreng makan disini dua ya! Ga usah pake acar, pedasnya sedang aja dua-duanya. Terus yang satu bawang gorengnya banyak, kalo yang satu standar aja tapi pake telur mata sapi ya” ucap Changmin setelah sampai di tenda tempat penjual nasi goreng.
“Lah makan disini, Cil? Kirain dirumah?” Tanya Hyunjae bingung.
“Aku itu belum mau revisi laporan. Kalo kita balik kerumah kak hyunjae, nanti aku kepikiran laporan. Kalo aku kepikiran laporan, jadi males makan. Jadi, mending kita makan disini aja kan?” Hyunjae menggeleng mendengarkan penjelasan Changmin dan hanya dapat mengusak kasar puncak kepala pria yang lebih muda darinya itu.
Lee Hyunjae dan Ji Changmin, dua pria dewasa berbeda sifat dan sikap. Lee Hyunjae yang dewasa terlihat lebih tenang dibandingkan dengan Ji Changmin yang lebih muda beberapa tahun dari Hyunjae tersebut. Orang yang melihat mereka pasti mengatakan bahwa mereka sepasang kekasih, tetapi sebenarnya bukan. Mereka berdua hanya tetangga sejak kecil, tetapi Ji Changmin telah sepenuhnya masuk ke dalam alur kehidupan seorang Lee Hyunjae sebagai seorang peran utama.
“Cil, udah izin kan? Nanti dicariin kayak waktu itu” tanya Hyunjae saat keduanya sudah kembali ke rumah Hyunjae. Changmin mengangguk sambil sesekali menguap.
“Ngantuk? Tidur dulu, nanti baru lanjutin laporannya” ucap Hyunjae lagi, tetapi Changmin menggeleng malas.
“Aku harus kerjain malam ini, soalnya deadlinenya cuma dua hari! Kak Hyunjae ada kerjaan?” Tanya Changmin yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh Hyunjae.
“Ada, deadlinenya juga dua hari lagi” ucap Hyunjae sambil membuka komputer jinjing miliknya.
“Kak, jadi penulis itu enak ga sih?” Tanya Changmin saat melihat Hyunjae tengah sibuk membaca tulisan sebelumnya. Hyunjae menoleh dan tersenyum. Detik berikutnya, Changmin mengernyitkan keningnya saat Hyunjae menggeleng yang menandakan bahwa lelaki itu tidak menyukai pekerjaannya saat ini sebagai penulis.
“Loh? Terus kenapa Kak Hyunjae jadi penulis?” Tanya Changmin bingung.
“Karena aku suka? Kalo ditanya enak apa engga, aku jawab engga! Tapi karena aku suka dan enjoy jadi aku bisa nikmatin semua prosesnya” ucap Hyunjae tenang dan Changmin mengangguk mengerti.
“Sebenernya kita berdua engga jauh beda kok. Kamu sama laporan kamu yang suka ditolak, dan aku sama editorku yang suka asal minta revisi bagian. Pusing kan? Tapi aku enjoy jadi ga bermasalah buat aku” Ucap Hyunjae kembali menjelaskan.
“Makanya, walaupun kuliah engga enak bagi kamu, kamu tetap harus enjoy biar pas kamu di suruh revisi laporan engga suntuk melulu!” Hyunjae mengusak kasar kepala Changmin, membuat yang lebih muda mengerucutkan bibirnya.
Jam menunjukan pukul tiga dini hari saat Hyunjae mencoba meregangkan badannya setelah berkutat dengan tulisan pada personal komputernya. Ia melirik hanya untuk memeriksa pria manis yang sejak sore bersamanya dan senyumnya merekah saat melihat Changmin sang pria manis tersebut tertidur di karpet berbulu dengan beberapa kertas bertebaran.
Hyunjae memilih mematikan personal komputernya dan berjalan pelan ke arah Changmin yang sudah terlelap tidur. Ia mencoba merapihkan komputer jinjing milik pria tersebut lalu merapihkan beberapa kertas yang berserakan memenuhi karpet dimana Changmin tertidur. Pelan tapi pasti, Hyunjae mencoba mengangkat Changmin dan memindahkannya ke tempat tidur hanya agar pria yang lebih muda darinya itu dapat tidur dengan nyaman.
“Kak Hyunjae!!!” Hyunjae menoleh dan mendapati Changmin berdiri di depan rumahnya sambil melambaikan tangannya. Hyunjae yang niat awalnya memanaskan mobil itu pun memilih menghampiri Changmin yang sedang melihatnya dengan tatapan bingung.
“Mau ke kampus? Mau bareng aku aja, engga?” Tawaran Hyunjae membuat raut wajah Changmin berseri. Lelaki yang lebih pendek itu mengangguk dan menggandeng lelaki yang lebih tinggi untuk berjalan kembali ke pekarangan rumah milik Hyunjae.
“Tapi, Kak Hyunjae engga akan telat kan? Setauku, kampus aku sama kantor ka hyunjae itu engga searah” ucap Changmin saat sudah duduk di kursi penumpang di sebelah Hyunjae.
“Engga apa-apa, aku santai kok masuk jam berapa aja, yang penting tulisan yang mau aku setor udah selesai” ucap Hyunjae santai dan membuat Changmin mengangguk mengerti.
“Kok lo bisa-bisanya telat sih, Jae? Kan lo udah tau kalo kita ada rapat sama kepala penerbit pagi ini” Hyunjae mengetukan kakinya ke lantai saat sang editor protes karena keterlambatan dirinya tiba di kantor.
Hyunjae tiba satu jam lebih lama dibandingkan apa yang sudah di tentukan karena harus mengantarkan Changmin terlebih dahulu pagi itu. Hyunjae mengucapkan permintaan maaf kepada sang editor dan mengatakan bahwa dirinya terlambat bangun pagi dan bukan mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
“Meeting diubah lusa tapi setelah makan siang. Lo ga akan ada alesan buat bangun kesiangan lagi, ya?” Ucapan sang editor membuat Hyunjae kembali tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada sang editor.
Dering ponsel Hyunjae membuatnya sedikit berlari saat ia baru saja keluar dari kamar mandi. Tetesan air yang jatuh dari rambutnya sedikit membasahi kaos yang ia kenakan. Hyunjae mengernyitkan keningnya saat melihat nama pemanggil pada ponsel pintarnya tersebut.
“Hallo, kenapa Cil?” Hyunjae harus sedikit menaikan volume suaranya saat mendengar suara hujan di sebrang telfon, persis sama dengan suara hujan di luar rumahnya.
“Kak Hyunjae dimana? Boleh tolong liatin ke rumah aku engga? Aku mau minta tolong ayah buat jemput aku, tapi telfonku dari tadi engga diangkat...” ucap Changmin dengan nada panik di sebrang telfon. Hyunjae pun mengikuti arahan Changmin dan mengintip untuk melihat ke arah rumah Changmin yang terlihat sepi seperti biasanya.
“Kayanya ayah kamu belum pulang deh, Cil. Soalnya mobilnya belum ada. Mungkin macet?” Ucap Hyunjae dan helaan nafas dapat di dengar Hyunjae setelahnya.
“Aku aja ya yang jemput kamu, gimana? Dua puluh menit atau setengah jam deh aku sampai di kampus kamu. Mau nunggu?” Ucap Hyunjae lagi tetapi hanya hening yang di dengar Hyunjae selanjutnya.
“Engga usah deh kak, aku ngerepotin mulu. Aku coba cari tebengan aja atau nunggu hujannya agak reda baru pulang” ucap Changmin pelan.
“Kalo kamu nunggu hujan reda, kamu belum tentu dapet transportasi, Cil. Aku jemput aja ya? Kamu mau tunggu dimana?” Tanya Hyunjae yang tengah mengambil jaket serta kunci mobilnya. Hyunjae memutuskan panggilan telfon tersebut sesaat setelah Changmin memberitahukan titik jemputnya.
“Kak hyunjae, lagi nulis apa?“tanya Changmin yang entah sejak kapan sudah menutup komputer jinjing di hadapan pria mungil tersebut.
Hari itu hari sabtu, Hyunjae mengajak Changmin pergi ke sebuah kafe agar Changmin dapat menyelesaikan tugas-tugasnya tanpa terganggu dengan nyamannya kasur di rumah Hyunjae ataupun televisi yang berada di ruang tamu milik keluarga Lee tersebut.
Hyunjae melirik dan mendapati Changmin yang sudah meletakan kepalanya di meja dengan komputer jinjing tertutup serta beberapa kertas yang telah dirapihkan oleh pria di hadapannya itu.
“Tugas kamu udah selesai?” Changmin mendengus kesal karena pria di hadapannya justru menanyakan hal lain tanpa menjawab pertanyaan Changmin sebelumnya. Hyunjae pun tertawa saat melihat raut wajah Changmin berubah drastis.
“Aku lagi nyoba nulis sesuatu yang belum pernah aku tulis sebelumnya. Masih coba-coba sih, soalnya aku belum pernah nulis dengan gaya kayak gini” ucap Hyunjae menjelaskan.
“Hm? Nulis kayak gimana, kak?” Tanya Changmin bingung dan Hyunjae pun menjelaskannya secara perlahan.
“Berarti kak hyunjae tetap menempatkan diri kakak sebagai peran utama dong? Kalo gitu bukannya sama aja ya kayak novel atau buku lain?” Tanya Changmin yang masih bingung dengan penjelasan Hyunjae sebelumnya.
“Nanti kalo buku ini udah selesai, kamu bakalan tau perbedaannya dimana, Cil.” Ucap Hyunjae mengusak puncak kepala Changmin dengan gemas.
Hyunjae melirik sekilas ke arah rumah Changmin, gelap. Tidak biasanya pria yang lebih muda darinya itu tidak berkunjung kerumahnya. Bagi Changmin, rumah Hyunjae adalah rumah utama dan rumah keluarga Ji justru adalah rumah singgahnya. Hyunjae baru saja akan mengunci gerbang rumahnya saat ia mendengar deru motor yang membelah jalanan sepi kompleks rumahnya.
Hyunjae sempat menghentikan kegiatannya dan memperhatikan dengan seksama motor yang berhenti tepat di depan rumah Changmin. Hyunjae harus mengernyitkan keningnya untuk mencoba memperjelas pandangannya yang sedikit buram karena minim pencahayaan.
Hyunjae baru dapat melihat dengan jelas sosok pria yang turun dari motor, saat wajah pria tersebut tanpa sengaja terpapar bias lampu dari pekarangan rumah. Changmin dengan senyum merekah turun dari motor tersebut. Hyunjae diam di tempatnya sembarj menahan nafas saat ia melihat pria lain yang masih duduk di atas motor itu mengusak puncak kepala Changmin.
Hyunjae memutuskan masuk ke dalam rumahnya saat ia melihat Changmin dan pria tersebut semakin mengikis jarak diantara keduanya. Hyunjae tersenyum kecil saat memutuskan mengunci pintu rumahnya. Mulai malam itu ia sadar, bahwa Changmin akan semakin jarang mendatangi rumahnya dan mendatangi dirinya lagi.
“Kak Hyunjae!!!!” Hyunjae menutup komputer jinjingnya sebelum menoleh dan mendapati Changmin mengintip dari jendela rumahnya. Hyunjae tersenyum. Entah sejak kapan, Hyunjae tidak ingat, ia sudah jarang membuka pintunya sembarangan.
“Kok tumben sih di kunci? Lagi sama pacarnya ya? Mana pacarnya? Kok diumpetin?” Tanya Changmin berpura-pura mencari seseorang yang sebenarnya tidak akan ada di dalam rumah itu.
Hyunjae hanya tersenyum menimpali. Pintu itu lebih sering Hyunjae kunci saat Changmin semakin jarang mengunjunginya. Hyunjae tidak punya alasan membuka pintu rumahnya lagi jika itu bukan Changmin. Tetapi Changmin tidak pernah mengetahui fakta tersebut.
“Kenapa lagi?” Tanya Hyunjae tanpa mempersilahkan Changmin masuk.
“Kok aku ga disuruh masuk? Beneran ya lagi ada pacarnya?” Tanya Changmin pelan dan Hyunjae tertawa setelahnya.
“Pacar apaan sih, Cil! Engga ada kok, coba sana masuk” ucap Hyunjae mempersilahkan Changmin masuk dan pria manis tersebut menerobos masuk ke dalam rumah Hyunjae tanpa permisi.
“Kak, aku udah milih judul buat skripsi semester ini!“ucap Changmin yang sudah duduk di sofa di ruang keluarga milik keluarga Lee tersebut.
“Loh kamu udah mau skripsian? Kayanya kemarin masih sibuk sama laporan?” Tanya Hyunjae dan Changmin hanya mendengus malas.
“Kak hyunjae! Bahkan aku tau kalo ka hyunjae udah nerbitin dua novel tahun ini, masa kak hyunjae gatau sih kalo semester ini aku udah mulai skripsian?” Ucap Changmin menahan emosinya dan hanya membuat Hyunjae tertawa.
“Kamu tau aku udah nerbitin dua novel kan karena kemarin aku kasih tau? Kalo aku tanya judul dan jalan ceritanya kayak gimana, kamu ga akan tau kan?” Ucap Hyunjae menggoda dan membuat Changmin hanya dapat menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.
Sebuah fakta yang mungkin hanya menjadi sentilan bagi Changmin. Karena, Hyunjae hampir selalu menceritakan tentang kesehariannya kepada Changmin. Sedangkan Changmin, semakin jarang menceritakan kesehariannya terhadap Hyunjae sejak beberapa waktu lalu.
“Nanti kalo aku skripsian, kayanya aku bakalan sering nginep disini deh, kak! Apa aku pindah aja ya kesini? Kak Hyunjae sendirian kan?” Tanya Changmin tiba-tiba.
“Kalo aku ngerjain dirumah, pasti kebanyakan diem! Kalo ngerjain dirumah kak hyunjae aku jamin cepet selesai” ucap Changmin lagi sambil tersenyum bahagia.
“Tanpa kamu minta, pintu rumah ini akan selalu terbuka buat kamu! Walaupun aku tau, kamu akan lebih jarang membuka pintunya kayak dulu” Hyunjae berbicara dalam hati sambil menyunggingkan senyumnya.
“Yaudah, tapi bayar sewa ya? Sehari lima puluh ribu!!” ucap Hyunjae santai dan berhasil membuat Changmin protes.
Hyunjae baru saja mencoba mengistirahatkan badannya saat tiba-tiba ia teringat akan seseorang. Seorang pria manis yang semakin susah untuk ia temui. Sesuai dengan prediksinya beberapa waktu silam, Changmin benar-benar semakin jarang datang dan berkunjung kerumah Hyunjae bahkan untuk menumpang tidur sekalipun.
Hyunjae sesekali menanyakan kabar Changmin serta tugas akhir yang sedang di kerjakan pria kecil itu dan jawaban singkat selalu yang diterima Hyunjae. Hyunjae tau, ada orang lain yang telah menggantikan posisinya saat ini. Hyunjae tau, bahwa ia tidak punya lagi kesempatan untuk berlama-lama di tempatnya saat ini.
Hyunjae teringat beberapa hari yang lalu, Changmin berlari kecil untuk menyerahkan satu kotak donat untuk Hyunjae saat malam minggu. Biasanya, mereka akan menghabiskan donat tersebut bersama dan menonton film apapun itu. Tetapi tidak dengan sore itu, Changmin hanya menyerahkan donat untuk Hyunjae sebelum pergi bersama seseorang yang sepertinya sering berkunjung ke rumah Changmin akhir-akhir ini.
Hyunjae juga pernah menelfon Changmin untuk menanyakan keberadaan pria manis tersebut saat hujan deras hanya untuk memastikan bahwa Changmin tidak terjebak hujan di jalanan. Saat itu, Hyunjae mendengar tawa Changmin saat menerima telfonnya serta sayup suara lelaki lain yang sepertinya sedang bersama Changmin.
“Kak hyunjae! Aku lagi sama temenku kok, aman hehehe” ucapan Changmin di sebrang telfon justru membuat Hyunjae semakin tidak tenang hari itu.
Hyunjae mengambil telfon genggamnya yang telah ia letakan di nakas samping tempat tidur hanya untuk melihat ruangan chat antara dirinya dan tetangga kecilnya itu. Setidaknya sudah tiga hari mereka tidak bertukar pesan dan itu membuat Hyunjae yakin, bahwa dirinya harus mengakhiri apa yang sedang ia lakukan saat ini.
Changmin menoleh sejenak ke pekarangan rumah Hyunjae yang sepi. Hari itu adalah hari wisuda Changmin, tetapi Hyunjae tidak dapat menghadirinya. Changmin marah kepada Hyunjae beberapa minggu lalu karena hal tersebut. Sejak saat itu, ia belum sempat berbicara apapun dengan Hyunjae hingga saat ini.
“Changmin, ayok buruan! Nanti keburu macet” Changmin menghela nafasnya kasar sebelum masuk ke dalam mobil dan berangkat ke tempat dimana wisudanya akan di gelar.
Sepanjang acara, Changmin hanya diam dan tersenyum seperlunya saja. Entah mengapa, ia merasakan kekosongan hanya karena Hyunjae tidak hadir pada acara sakralnya hari itu. Pesan singkat yang dikirimkan Changmin pagi tadi juga belum terkirim, hal itu semakin membuat Changmin tidak bisa duduk tenang.
“Pak, katanya nanti ada yang mau liat-liat rumah Tuan Lee” Changmin menoleh saat sang ibu sedang berbicara dengan sang ayah.
“Rumah tuan lee? Maksudnya rumah kak hyunjae? Emang mau di jual?” Tanya Changmin bingung dan dijawab anggukan oleh ibundanya.
“Kamu sih! Lagi ngambek ya sama Hyunjae? Minggu lalu dia pamit, mau nyusul orang tuanya dan rencananya mau ikut pindah kesana” Changmin hanya bisa diam mendengar penjelasan ibunya.
Changmin jadi teringat perdebatan kecil mereka beberapa waktu silam dan Changmin tidak tau jika hari itu, hari dimana ia dapat bertemu Hyunjae. Hari ini, Changmin menyesali sikapnya kekanak-kanakannya terhadap Hyunjae pada waktu itu.
“Oh iya, dia ngasih hadiah kelulusan tapi ada dirumah. Tadi ayah lupa bawanya” Changmin semakin tidak bisa duduk diam sepanjang hari setelah mendengar ucapan sang ayah.
Malam itu, setelah melalui seluruh kegiatannya dengan tidak tenang, akhirnya Changmin dapat kembali ke rumah dan mendapatkan sebuah buku yang diberikan sang ayah. Sang ayah mengatakan bahwa buku tersebut diberikan Hyunjae sebelum pindah dan menyusul kedua orang tuanya.
PERAN UTAMA
Karya: Hyunjae Lee
Sinopsis: Setiap orang adalah sutradara. Kita bisa memilih ingin memainkan peran seperti apa dan menjadikan siapapun sebagai peran utamanya. Tetapi kita, tidak pernah bisa memilih peran yang akan kita mainkan dalam cerita orang lain.
Bagian Satu
Entah sejak kapan, aku mulai menjadikan anak lelaki tersebut mengambil peran utama dalam kehidupanku. Rasanya aneh, tetapi aku bahagia. Bahagia karena menjadikannya peran utama di dalam kehidupanku.
Changmin mulai membaca buku tersebut dengan serius. Bagian pertama dalam buku tersebut semakin membuat Changmin tidak sabar untuk dapat membaca bagian selanjutnya.
Bagian Dua
Seperti maknanya, peran utama memiliki peran penting dalam sebuah alur cerita. Aku sebagai sutradara, membebaskan peran utama dalam ceritaku untuk melakukan apapun yang ia inginkan karena apapun yang ia lakukan berarti penting juga dalam jalan cerita kehidupanku.
Lembar demi lembar kembali dibaca oleh Changmin secara seksama. Changmin pun mulai mengerti alur cerita dari buku yang dituliskan oleh Hyunjae tersebut. Ia juga mengerti bagaimana jalan cerita dalam buku yang saat ini sedang menguras seluruh fokusnya.
Bagian Tiga
Aku rela mengubah cerita dalam kehidupanku, ketika peran utamaku sedang tidak baik-baik saja. Peran utamaku adalah yang terpenting dalam alur kehidupanku.
Changmin terkejut saat membaca kisah yang dituangkan Hyunjae dalam bukunya. Kisah mengenai peran utama dalam kehidupan seseorang, dimana orang tersebut menjadikannya orang lain sebagai peran utamanya. Sebagai bagian penting di dalam hidupnya.
Changmin ingat, bagaimana saat itu Hyunjae dengan senang hati mengantarnya pergi ke kampus saat ia akan pergi bekerja. Hyunjae tetap mengantarnya walaupun arah tempat kerja Hyunjae dan kampus Changmin bertolak belakang. Jantung Changmin terasa berhenti sejenak saat ia mengingat hal tersebut.
Bagian Empat
Hari ini, aku memberitahukan konsep sutradara dan peran utama kepada peran utama dalam kehidupanku itu. Ia sungguh menyambutnya dengan gembira. Walaupun ia masih susah mencerna penjelasanku saat itu, ia mengatakan bahwa dirinya akan menjadi seorang sutradara sekaligus peran utama dari sebuah cerita yang luar biasa yang akan ia tuliskan.
Changmin memegang dadanya yang berdenyut terlampau cepat. Konsep sutradara dan peran utama yang baru saja ia baca itu berputar di kepalanya. Changmin merasa bodoh ketika mengetahui makna dibalik konsep yang ia ketahui beberapa waktu lalu itu.
Changmin sekarang tau apa maksud dari Hyunjae saat itu. Changmin akhirnya benar-benar sadar, dimana letak perbedaan jika seseorang menempatkan dirinya sendiri sebagai peran utama dan jika seseorang itu menempatkan orang lain sebagai peran utama dalam hidupnya.
Bagian Lima
Aku melupakan fakta jika semua orang adalah sutradara dalam kehidupannya masing-masing. Begitu juga dengan peran utama dalam hidupku yang merupakan seorang sutradara dalam alur kehidupannya sendiri.
Kepala Changmin berdenyut saat ia mulai membuka halaman baru, tepat saat awal bagian lima dimulai. Pada bagian tersebut disebutkan, bahwa sang sutradara telah menemukan fakta jika peran utama dalam kehidupannya juga sudah menentukan peran utama serta peran pendamping dalam alur kehidupannya sendiri.
Sang peran utama tersebut telah memilih akan menjadi sutradara sekaligus peran utama dalam kehidupannya sendiri dan memilih peran pendamping untuk seluruh alur kehidupan selanjutnya.
Changmin ingat, saat ia mulai memasuki semester akhir dimana pertemuannya dan Hyunjae semakin jarang dilakukan. Changmin saat itu lebih senang menghabiskan waktunya bersama orang lain selain Hyunjae.
Bagian Enam
Peran utamaku mulai menuliskan skenario untuk alur kehidupannya. Ia akan menjadi seorang sutradara dengan menjadikanku seorang peran pendukung. Sekali lagi akan kuulangi bahwa peran utama dalam alur kehidupanku, menjadikanku sebagai seorang peran pendukung.
Changmin menutup buku tersebut dengan kasar. Mulai malam itu, Changmin membenci konsep sutradara dan peran utama. Changmin benci menjadi seorang sutradara terlebih lagi menjadi seorang peran utama.
Bagian Terakhir
Aku akhirnya menyerah. Aku akan menyudahi alur cerita yang sempat aku tuliskan. Peran utamaku sudah memilih peran pendampingnya dan yang jelas itu bukan aku, karena ia tidak pernah tau bahwa ia telah aku jadikan peran utama dalam kisahku.
Setelah beberapa saat, Changmin akhirnya mencoba membuka kembali buku tersebut dan membaca bagian terakhir dalam buku tersebut. Changmin menemukan sebuah surat terselip di halaman terakhir buku tersebut. Hal yang disyukuri Changmin karena kembali melanjutkan membaca buku tersebut.
Surat untuk sang peran utama
Changmin, gimana? Apakah aku cocok menjadi seorang sutradara? Atau lebih baik aku tetap jadi seorang penulis saja? Jika aku jadi sutradara, kisahku akan berakhir menyedihkan. Tetapi jika aku menjadi seorang penulis, akan aku pastikan semua kisah yang aku tuliskan mempunyai akhir yang indah. Tapi maaf, khusus buku yang ini akhirnya tidak begitu indah. Karena buku ini memang tidak untuk di publikasikan. Buku ini khusus dibuat untuk PERAN UTAMA
Changmin terdiam beberapa saat. Ia bingung, harus tersenyum atau menangis, keduanya bahkan sudah ia lakukan sejak ia membuka halaman pertama buku tulisan Hyunjae. Changmin masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang menjadikannya peran utama dalam kehidupannya tanpa diketahui oleh diri Changmin sendiri.
To: hyunjae.lee@writer.id
Subject: Surat elektronik untuk sang sutradara
Hai, kakak penulis! Eh, apa aku harus memanggilmu kakak sutradara? Maafkan aku yang merajuk kepadamu hanya karena masalah sepele. Andai aku tidak merajuk, pasti kamu akan berpamitan kepadaku sebelum pergi kan?
Kak Hyunjae, ini pertama kalinya aku baca cerita yang kak Hyunjae tulis dan aku mengakui kamu adalah seorang penulis hebat. Engga salah banyak orang mengagumi tulisan kamu. Aku menyesal, baru membaca bukumu kali ini. Aku janji besok akan pergi ke toko buku dan membeli semua buku hasil karyamu.
Kak Hyunjae, terimakasih sudah menjadikan aku peran utama dalam alur kehidupan kak Hyunjae. Tapi, aku harus jujur bahwa kak Hyunjae adalah seorang sutradara yang buruk. Tidak ada seorang sutradara yang mengikuti alur cerita dari peran utamanya. Sutradara itu adalah orang yang menentukan alur cerita dan sutradara seharusnya memberikan naskah kepada peran utama dalam sebuah cerita.
Kak Hyunjae, aku sebagai seorang peran utama tidak pernah menerima naskah dari seorang sutradara dan aku sangat kecewa. Aku kecewa, karena konsep sutradara dan peran utama yang pernah kak Hyunjae jelaskan justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi diantara kita berdua.
Kak Hunjae, lewat surat eletronik ini aku mau jujur bahwa aku tidak pernah menempatkan kak Hyunjae sebagai peran pendukung dalam jalan ceritaku. Bagaimana bisa aku menempatkan orang yang selalu hadir setiap hari di alur kehidupanku sebagai peran pendukung?
Kak Hyunjae, terimakasih sudah menjadikanku peran utama hingga aku menemukan peran pendampingku. Maaf belum bisa menjadi peran utama yang membawa akhir yang bahagia. Aku harap kak Hyunjae bisa menjadikan diri kak Hyunjae seorang peran utama dalam alur kehidupan kam hyunjae sendiri hingga kakak menemukan peran pendamping yang membawa alur kehidupan kakak kepada akhir yang bahagia.
Kak Hyunjae, aku akan melepaskan title peran utamaku saat surat eletronik ini kak Hyunjae terima dan menyerahkan title tersebut untuk diri kak Hyunjae sendiri. Semoga kak Hyunjae selalu bahagia dimanapun kak Hyunjae berada.
Changmin menarik nafas panjang dan membuangnya secara perlahan. Ia telah lebih dahulu menekan tombol kirim, sebelum akhirnya menutup halaman surat elektonik tersebut. Ia telah sepenuhnya melepaskan title peran utama dalam alur hidup Hyunjae sejak malam itu. Malam dimana untuk pertama kalinya ia mengetahui perannya dalam alur kehidupan Hyunjae.
Changmin membuka kembali buku yang ia letakan di atas kasur tersebut utuk menulis beberapa kalimat tambahan dalam buku tersebut.
ps: Kita memang seorang sutradara dan bisa memilih siapapun peran utama dalam alur kehidupan kita. Tetapi, jangan pernah lupa untuk memberikan naskah kepada siapapun itu yang kamu jadikan peran utama. Karena, ia berhak tau perannya dalam setiap alur kehidupan orang lain
selesai
Kolom Kritik dan Saran