semestakapila

Stay.


Ketakutan Hangyul ialah ditinggalkan. Bahkan sampai saat ini saat usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, ketakutan itu masih ada terlebih saat mobil yang ia kendarai saat ini mulai kehilangan arah dan berputar di jalanan lenggang.

Hangyul mencoba tetap sadar mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Salju yang turun seharian, membuat jalanan licin dan tadi, Hangyul terpaksa membanting kemudinya saat sebuah bus oleng tepat dihadapannya.

“Jangan tinggalin aku, please...“ucap Hangyul mencoba menggenggam tangan lelaki disebelahnya yang sudah tidak sadarkan diri. Hangyul masih berusaja tetap sadar walau akhirnya semua menjadi gelap.

Flashback On

Hangyul menatap batu nisan di depannya. Batu nisan dengan nama-nama orang terkasih. Ya, bukan hanya satu tetapi tiga orang. Hangyul harus kehilangan kedua orang tua serta adik kecilnya. Hangyul selalu berfikir seandainya.

Seandainya ia ikut malam itu, mungkin ia tidak akan tinggal sebatang kara seperti ini.

Seandainya ia bisa menggantikan sang ayah menyetir malam itu, mungkin ia tidak akan ditinggalkan seperti ini.

Seandainya ia tidak mempunyai pekerjaan menumpuk malam itu, mungkin ia akan ikut serta bersama keluarganya mengunjungi nenek di kampung halaman.

Seandainya ia mempunyai golongan darah dengan keluarganya, mungkin nyawa mereka akan tertolong.

Begitu banyak kata seandainya yang berlalu lalang difikiran Hangyul hingga tanpa sadar hari sudah berganti malam. Matahari sudah istirahat dengan tenang di peraduannya dan digantikan oleh bulan serta bintang yang mulai bekerja menyinari malam itu.

Setelah hari itu, setiap hari Hangyul selalu berkunjung ke pemakaman setelah selesai bekerja. Demi menghilangkan rasa sepi di apartment, Hangyul akan menghabiskan malamnya di tempat tersebut dan kembali pulang saat sudah tengah malam.

Malam ketujuh, hujan yang turun membasahi area pemakaman tidak menyurutkan niat Hnagyul untuk tetap mengunjungi kedua orang tua dan adiknya. Hangyul membawa tiga jenis bunga berbeda sesuai dengan kesukaan setiap anggota keluarganya.

“Permisi...”

Hangyul menoleh dan mendapati seseorang memberikannya sebuah payung hitam besar. Hnagyul menerima payung tersebut dan setelahnya, orang yang tidak Hangyul ketahui namanya itu berlari kecil keluar dari area pemakaman.

Hangyul kembali dari pemakaman saat jam menunjukan hampir pukul sepuluh malam dan hujan sudah berhenti setidaknya setengah jam yang lalu. Hangyul menyipitkan kedua matanya saat menangkap seseorang sedang berdiri di halte tepat di depan area pemakaman.

Entah apa yang mendasari pergerakan Hangyul setelahnya, karena ia justru melangkahkan kakinya menuju halte dan bukan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat ia berdiri saat ini.

“Permisi, maaf apa ini payungmu?“ucap Hangyul pelan membuat seseorang dihadapannya itu sedikit terkejut dan mengangguk setelahnya.

“Maaf, saya fikir anda lebih memerlukannya. Karena yang saya tau, anda akan berada di pemakaman setidaknya hingga pukul sebelas malam”Hnagyul terdiam karena ucapan orang di hadapannya. Bagaimana bisa lelaki tersebut mengetahui kebiasaan Hangyul seminggu belakangan ini?

“Namaku Hangyul...“ucap Hangyul mengulurkan tangan kanannya.

“Sihun, namaku Kim Sihun”ucap lelaki di hadapan Hnagyul sambil tersenyum.

“Sepertinya bis tidak akan lewat lagi, mau saya antar? Saya janji akan antar sampai rumah”ucapan Hangyul membuat wajah sayu Sihun berubah gembira seketika.

“Ah terimakasih! Aku sudah menunggu bisa selama sejam, tapi tidak kunjung datang”ucap Sihun masih dengan senyum di wajahnya.

Pertemuan dan perkenalan Hangyul dengan Sihun malam itu membuat mereka berdua semakin dekat setiap harinya. Hangyul dan Sihun bahkan sesekali akan mengunjungi pemakanan di malam yang sama untuk mengunjungi keluarga mereka.

“Ibuku bilang, orang akan datang dan pergi. Sebenci apapun kita dengan perpisahan atau ditinggalkan, setiap ada pertemuan pasti suatu saat tetap akan ada perpisahan. Itu sudah hukum alam”ucap Sihun malam itu saat Hangyul dan Sihun sedang menyantap makan malam bersama.

“Aku ditinggal ayahku saat umurku lima tahun, saat itu aku tidak tau apa itu perpisahan. Tetapi, saat umurku dua belas tahun dan kakak lelakiku juga pergi meninggalkanku, aku mulai mengerti apa itu perpisahan. Aku lebih mengerti, bahwa sampai kapanpun kita harus siap untuk ditinggalkan”ucap Sihun melanjutkan.

“Tapi aku tidak suka ditinggalkan, rasanya sepi...“ucap Hangyul pelan.

“Belajar pelan-pelan ya? Belajar memahami apa itu perpisahan, biar kamu ga takut lagi untuk ditinggalkan”ucap Sihun sambil tersenyum ke arah Hangyul.

Flashback Off

Sihun menatap Hangyul yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah pucat itu tidak menunjukan tanda-tanda pergerakan sama sekali. Kecelakaan yang mereka alami sebulan lalu, masih membuat Hangyul tertidur tenang.

Malam itu, Hangyul melamar Sihun dengan sangat mewah. Tidak perlu waktu lama untuk Sihun menjawab lamaran Hangyul. Setelah makan malam mewah tersebut, Hangyul dan Sihun berencana pergi ke pemakanan dimana orang tua Hangyul dan Sihun dimakamkan.

Tetapi, malam itu mereka tidak pernah sampai di pemakaman. Hangyul dan Sihun tidak pernah sampai ditempat dimana mereka berniat meminta restu kepada orang tua mereka.

“Masih belum ada perkembangan yang berarti”ucap dokter saat memeriksa keadaan Hangyul siang itu.

Sihun memijit pelipisnya pelan. Hangyul dengan segala alat bantu ditubuhnya saat ini masih belum menunjukan perkembangan. Tetapi, Sihun juga tidak tega jika harus melepas alat bantu tersebut dan melihat Hangyul harus menderita kesakitan.

“Terimakasih untuk semuanya selama ini. Aku janji bakalan terus bareng-bareng sama kamu sampai tua nanti!”

Sihun teringat dengan perkataan yang Hangyul katakan saat menyematkan sebuah cincin di jari manis Sihun setelah Sihun meneeima lamaran Hangyul malam itu. Sebuah janji yang membuat Sihun berlari kecil untuk menemui dokter.

●●●

“Hangyul... Sayang... Aku ga apa-apa kok. Aku percaya, kamu akan selalu nepatin janji kamu sama aku. Mungkin ga selalu disamping aku, tapi kamu akan selalu bareng-bareng sama aku disini”Sihun menahan tangisnya, meletakan tangan dingin Hangyul di dadanya.

“Hangyul... Sayang... Aku ikhlas...“ucap Sihun lagi dengan terbata.

“Aku tau kamu sayang sama aku, karena aku juga akan selalu sayang sama kamu... Aku ga apa-apa disini sendirian kok, sayang...“Sihun mengigit bibir bawahnya saat melihat Hangyul meneteskan air matanya.

“Makasih buat tiga tahun terindahnya....“Sihun mengecup bibir pucat Hangyul sebelum beberapa alat menimbulkan bunyi bip dan membuat Sihun menjerit.

“Maaf... Aku yang benci perpisahan dan ditinggalkan, tetapi justru aku yang meninggalkan kamu lebih dulu. Aku sayang kamu, Sihun...” Hangyul sudah tidak bisa memeluk raga yang sedang menjerir tersebut. Tetapi Hangyul sesuai janjinya, aku selalu disisi Sihun walau dalam bentuk lain.

fin

Memori.


Serim menghentakan kakinya malas saat mendengar bel rumahnya berbunyi beberapa kali. Bukan tanpa alasan Serim malas membuka pintu, pasalnya tidur sorenya terganggu karena tamu yang tak di undang tersebut.

“Cari siapa?“tanya Serim malas.

“Hm... Ka Seungyoun ada?“Serim mengenyitkan keningnya, menatap seseorang yang lebih pendek darinya itu.

“Engga ada, belum pulang. Ada perlu apa?“tanya Serim angkuh hingga membuat sosok di hadapannya mundur beberapa langkah.

“Ah... Engga apa-apa kok, aku tunggu Ka Seungyoun disini boleh?“tanya tamu yang menganggu tidur sore Serim tersebut.

“Kalo engga ada perlu, kenapa harus nungguin? Kalo nungguin kan pasti ada perlunya”ucap Serim dengan nada datar, membuat lelaki di hadapannya semakin takut.

“Itu... Hm... Kata Ka Seungyoun... Itu... Aku...“Serim mendecak sebal karena sosok di hadapannya tak kunjung memberikan alasan yang masuk akal hingga sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah Serim.

“Loh? Allen kok ga nunggu di dalem aja?“Serim dan sosok dihadapannya yang diketahui bernama Allen itu menoleh saat Seungyoun beserta Sejin keluar dari mobil yang belum lama tiba tersebut.

“Ah... Aku baru nyampe kok ka! Jadi belum sempet masuk”Allen tertawa renyah, membuat Serim menatap lelaki yang masih berdiri dihadapannya itu dengan lekat.

“Bukan karena engga dibolehin Serim masuk kan? Biar kakak pukul kepalanya kalo kamu engga dibolehin masuk”ucap Seungyoun sambil menatap Serim tajam.

“Gue baru bangun ya! Terus dia bilang nyari lo, tapi engga ngasih tau alesannya apa”ucap Serim sambil melangkahkan kakinya kembali masuk kerumah.

“Kenapa harus pake alesan? Allen kan adeknya Sejin, kalo dia nungguin gue berarti emang ada perlu sama gue”ucapan Seungyoun membuat langkah Serim berhenti dan memikirkan ucapan kakak lelakinya tersebut.

“Udah, Youn! Mungkin Serim ga kenal Allen jadi dikirain orang asing”kali ini Sejin mencoba menengahkan.

“Kan dua minggu lalu baru ketemu, masa udah lupa?“ucap Seungyoun berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

Disisi lain, Serim memutar badannya dan menatap Allen yang sudah duduk di sofa bersama Sejin. Allen tersenyum sambil sedikit menganggukan kepalanya saat tanpa sengaja beradu tatap dengan Serim.

Pertemuan kedua antara Serim dan Allen memang tidak berjalan mulus. Tetapi setelah kejadian tersebut, Serim selalu menyambut kedatangan Allen dengan hangat. Allen kerap menunggu Sejin dirumah Serim dan saat itulah, Serim sesekali akan mengajak Allen mengobrol dan bertukar cerita.

Jenuh.


Seungyoun dan Sejin duduk saling bersisian di sebuah sofa berwarna kelabu di ruang tengah apartment milik mereka berdua. Tayangan di televisi mereka abaikan karena keduanya larut dalam fikiran masing-masing.

“Kamu bosen ga sih, Jin?“ucap Seungyoun, seraya mematikan televisi di hadapannya hingga layar berubah menjadi hitam pekat.

Sejin menatap Seungyoun, mencoba mengartikan kata bosan dalam pertanyaan Seungyoun sebelumnya. Sebuah kata bermakna ganda yang dapat menimbulkan kesalahpahaman jika ia salah menafsirkan. Seungyoun menatapa Sejin, menunggu jawaban dari sang terkasih.

“Bosan sama apa yang kita lakuin setiap hari”Seungyoun mencoba meluruskan arti kata bosan dari pertanyaannya dan berharap bahwa Sejin dapat menjawab pertanyaannya. Tetapi yang Seungyoun dapatkan hanyalah sebuah helaan nafas berat yang di timbulkan oleh lelaki mungil di sebelahnya itu.

Jujur, Sejin sedang bosan. Seakan Seungyoun dapat membaca fikirannya beberapa minggu belakangan ini. Sejin cukup bosan dengan rutinitasnya setiap hari. Bertemu Seungyoun hanya saat sarapan dan makan malam, sisanya ia menghabiskan waktu di galeri miliknua dan Seungyoun menghabiskan hari di studionya.

Sejin merasa bosan dengan rutinitas keduanya, tetapi tidak dengan hubungan keduanya. Tidak pernah sekalipun terlintas di kepala Sejin kata bosan dalam menjalin hubungan bersama Seungyoun. Keduanya tetap bercinta setidaknya dua kali dalam seminggu dan saat itulah waktu keduanya bisa mengeluarkan rasa rindu satu sama lain.

“Mau liburan engga? Kita berdua aja, tanpa mikirin kerjaan?“Sejin kembali memandang Seungyoun. Kali ini, Sejin mencoba mencari sebuah kebenaran dari pertanyaan kekasihnya itu.

Liburan, satu kata yang Sejin impakan setidaknya dalam kurun waktu dua bulan ini tetapi enggan ia lontarkan, mengingat kesibukan keduanya. Tetapi, malam ini Seungyoun mengutarakan hal tersebut dan Sejin benar-benar ingin melakukannya. Berdua dengan Seungyoun tanpa di ganggu oleh siapapun, termaksud pekerjaan mereka.

Anggukan Sejin membuat Seungyoun tersenyum. Sejin pun menggeser posisi duduknya merapat dengan sang kekasih saat Seungyoun menanyakan destinasi liburan mereka. Liburan yang akan mereka mulai esok pagi-pagi sekali hingga tiga hari kedepan. Setidaknya selama dua puluh menit, Seungyoun dan Sejin mencari destinasi liburan singkat mereka.

“Kamu urus sisanya, bisa kan? Aku siapin baju buat kita berdua”Seungyoun tersenyum dan mengangguk saat Sejin mengusulkan pembagian tugas.

“Jangan lupa bilang karyawan kamu, ya? Mereka bari bisa ngehubungin kamu hari senin”ucap Seungyoun mengingatkan dan Sejin mengangguk mengerti.


Pagi-pagi sekali, Seungyoun dan Sejin sudah bangun dan berpakaian rapih layaknya orang akan berlibur. Sebuah ransel besar di gendong Seungyoun dan Sejin menarik sebuah koper berukuran sedang yang menampung baju keduanya. Liburan Seungyoun dan Sejin akan segera dimulai.

Jalanan pagi itu sangat lenggang, karena sebagian besar orang pasti masih pulas di atas kasur empuk mereka. Hal itu, membuat Seungyoun dan Sejin membuka jendela mobil keduanya demi menghirup udara pagi yang masih segar tanpa ada campuran asap kendaraan yang berlalu lalang.

“Dari sini ke tempat sarapan kita kurang lebih empat puluh menit, semoga belum rame pas kita sampe sana”Sejin menoleh dan mengangguk mendengar penjelasan singkat Seungyoun.

Tidak sampe empat puluh menit, Seungyoun dan Sejin sudah tiba di kedai dimana mereka akan menikmati sarapan mereka. Sesuai dugaan Seungyoun, kedai tersebut hampir ramai akan orang yang memang akan menikmati sarapan mereka.

Seungyoun dan Sejin memilih tempat di pojok kedai sesaat setelah memesan sarapan mereka berdua. Sesekali Seungyoun dan Sejin bercengkrama dan tertawa saat memperhatikan orang-orang yang berdatangan ke kedai tersebut. Dimulai dari tiga orang mahasiswa yang mungkin akan memulai acara organisasi dikampus atau dua pasang karyawan yang mungkin akan mulai sibuk dengan pekerjaan mereka beberapa jam kedepan.

Seungyoun dan Sejin sadar, kesibukan keduanya membuat mereka jarang dapat memperhatikan hal detail di sekeliling mereka. Seungyoun dan Sejin hanya berpusat pada kehidupan dan kesibukan keduanya hingga mereka merasa bosan dan jenuh dengan apa yang mereka kerjakan akhir-akhir ini.

Seungyoun sengaja memilih destinasi yang jauh dari pusat kota. Seungyoun tau jika ia dan Sejin sednag jenuh dengan hiruk pikuk kehidupan di pusat kota sehingga Seungyoun memilih destinasi liburan yang berada di pinggiran kota. Sekitar pukul sembilan pagi, Seungyoun mengarahkan kemudi mobilnya kearah sebuah kedai kopi yang konon umurnya dua kali umur Seungyoun dan Sejin.

“Kita sampai di hotel pas jam makan siang, jadi kamu kalo mau ngemil disini ga apa-apa kok”ucap Seungyoun seraya mengulurkan tangannya untuk kemudian disambut Sejin dalam sebuah genggaman tangan yang hangat.

Seungyoun dan Sejin memilih kursi yang berada di belakang kedai dan langsung mengarah langsung ke laut. Ya, Seungyoun memilih destinasi liburan pantai karena keduanya sama-sama menyukai suara deburan ombak yang dipercaya menenangkan hati serta pikiran. Tidak perlu waktu lama bagi Seungyoun dan Sejin menghabiskan waktu di kedai tersebut, karena sejam kemudian mereka sudah kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Seungyoun dan Sejin kembali membuka jendela yang tepat berada di sebelah mereka. Seungyoun serta Sejin merasakan hembusan angin yang segar yang mungkin akan sangat susah mereka rasakan di pusat kota, dimana udara akan dipenuhi asap kendaraan bahkan mulai pukul tujuh pagi.

Tepat saat jam makan siang, Seungyoun dan Sejin sampai di sebuah cottage yang sudah dipesan Seungyoun semalam. Sebuah cottage yang nyaman untuk ukuran pemesanan kurang dari dua puluh empat jam. Seungyoun dan Sejin memilih mengistirahatkan sejenak tubuh mereka di dalam kamar sebelum mereka menikmati makan siang yang sudah disiapkan cottage tersebut.

Sejin menghentikan langkahnya saat ia baru saja membuka pintu kamar cottage yang mereka tempati tiga hari kedepan. Setelahnya Sejin menoleh kearah Seungyoun dengan tatapan penuh pertanyaan yang justru sukses membuat Seungyoun bingung.

“Ah! Soalnya ini satu-satunya paket yang tersedia, jadi yaudah aku ambil aja”Seungyoun terkekeh pelan menjelaskan hal yang membuat Sejin bingung. Seungyoun memilih paket bulan madu untuk liburan mereka berdua. Tak dapat dipungkiri jika Seungyoun berhasil mendapatkan tempat nyaman kurang dari dua puluh empat jam.


“Capek? Mau duduk dulu?“Sejin menoleh dan menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Seungyoun. Malam itu, Seungyoun dan Sejin memilih berjalan di sepanjang bibir pantai ditemani deburan ombak yang menggulung tenang.

Setelah lelah berjalan, Seungyoun maupun Sejin memilih duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Keduanya terdiam cukup lama menikmati keindahan Tuhan di hadapan mereka tanpa ada satu katapun yang terucap. Karena diam terkadang merupakan cara terbaik menikmati hidup.

“Dingin engga?“tanya Seungyoun saat angin berhembus semakin kencang. Sejin menggeleng sambil tersenyum tetapi Seungyoun tetap menggeser posisi tubuhnya dan melingkarkan tangannya di tubuh mungil kekasihnya.

“Makasih ya, Youn...“ucap Sejin pelan. Seungyoun mengangguk mengerti. Tanpa dijelaskan, Seungyoun tau maksud dari ucapan terimakasih yanh Sejin lontarkan.

“Makasih buat liburannya... Tanpa aku minta, kamu ngasih aku short escape kayak gini”ucap Sejin melanjutkan. Seungyoun tersenyum dan mengeratkan dekapannya, memberikan kehangatan lebih kepada Sejin.

Tidak banyak yang mereka bicarakan malam itu, Seungyoun dan Sejin sama-sama menikmati short escape indah mereka di pantai tersebut dan berharap kejenuhan mereka menjalani hari-hari di pusat kota bisa segera sirna.

“Balik ke hotel yuk?“Sejin mengerucutkan bibirnya saat mendengar ucapan Seungyoun dan membuat Seungyoun tersenyum karena ulahnya tersebut.

Seungyoun tidak perlu bertanya dan Sejin tidak perlu meminta, karena menit berikutnya Sejin sudah berada dalam gendongan di punggung Seungyoun sehingga membuat Sejin dapat mencium aroma khas rambut Seungyoun.

“Kapan kamu terakhir keramas?“ucap Sejin penih curiga.

“Nanti jangan langsung tidur ya! Aku keramasin kamu dulu”ucap Sejin lagi yang di balas anggukan ringan Seungyoun.

fin

Prolog.


Serim memicingkan matanya, mencoba memperjelas pandangannya akan sosok mungil di hadapannya. Tanpa sadar, Serim tersenyum saat orang yang sedari tadi ia perhatikan tersebut menggaruk tengkuknya yang Serim tebak sebenarnya itu tidaklah gatal. Sosok mungil tersebut terlalu bingung dengan lingkungan yang baru ia temui hari itu.

“Allen?”

Sosok mungil tersebut menoleh saat Serim mendekat dan menyapanya. Butuh waktu beberapa detik hingga Allen akhirnya tersenyum ketika mengetahui seseorang di hadapannya saat ini.

“Serim! Masuk sini juga? Jurusan apa?”

Serim sungguh tidak bisa menyembunyikan senyumnya kala Allen bertanya dengan mimik yang menggemaskan. Hari itu Serim menemani Allen seharian saat pembukaan penerimaan mahasiswa baru. Walaupun Allen harus sedikit kecewa karena ternyata dirinya dan Serim tidaklah satu fakultas.

Tiga tahun yang lalu

“Jin, kita mampir ke sekolah Serim bentar ya?”

“Serim? Kenapa lagi?”

Sejin tau benar, Serim -adik lelaki, Seungyoun adalah tipikal anak lelaki yang enggan di jemput oleh anggota keluarganya ke sekolah. Jika Seungyoun sampai harus menjemput Serim, maka pasti sesuatu telah terjadi pada anak lelaki yang baru saja menginjakkan kakinya di Sekolah Menengah Atas tersebut.

“Bilangin adek kamu! Jangan bandel-bandel, nanti ga punya pacar!!”

Seungyoun hampir saja tertawa mendengar perkataan Sejin, karena dari sekian banyak kalimat yang mungkin keluar dari bibir Sejin, justru kalimat yang jauh dari bayangan Seungyoun yang keluar dari bibir sang kekasih.

“Adek kamu ga bandel, tapi ga punya pacar juga tuh!”

“Hm... beda! Kalo Allen, emang aku larang pacaran sampe kuliah nanti”

Seungyoun mengusak kepala Sejin gemas. Seorang Sejin yang bahkan sudah berpacaran dengan Seungyoun sejak kelas tiga sekolah Menengah Pertama itu melarang sang adik untuk berpacaran dengan alasan yang Seungyoun sangat tahu persis, “Aku gamau nanti Allen disakitin! He's too precious to be hurt”

Sejin menunggu di dalam mobil setidaknya hampir selama empat puluh lima menit sebelum akhirnya melihat kakak beradik yang berjalan ke arah mobil yang terparkir di pelataran parkir sekolah sambil tertawa dan bercanda.

“Lagian kok itu kakak kelas mainnya keroyokan, terus ngadu ke guru kesiswaan”

Sejin menatap sang kekasih yang baru saja masuk ke dalam mobil dengan tatapan penuh pertanyaan. Pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi terhadap Serim sehingga Seungyoun di panggil ke sekolah oleh guru kesiswaan di sekolah Serim.

Seungyoun menceritakan semua yang terjadi sambil sesekali melirik ke kursi belakang, kearah sang adik yang asik dengan ponsel pintarnya. Sejin sesekali menggeleng mendengar pernyataan Seungyoun tanpa mau menanggapi terlalu banyak.

“Youn, jemput Allen dulu bisa ga? Dia di tempat les deket sini, kasian udah sore, pulang sendirian...”

Seungyoun mengiyakan permintaan sang kekasih dan melajukan mobilnya ke tempat yang telah di tunjuk oleh Sejin sebelumnya dan disana, Allen sudah berdiri menunggu sang kakak menjemputnya.

Serim menoleh saat pintu di bagian penumpang terbuka dan menegakkan posisi duduknya saat seseorang masuk ke dalam mobil dengan senyum yang menghiasi wajah kecilnya. Oh ini yang namanya, Allen, ucap Serim dalam hati.

Seungwoo tersentak saat satu batang rokok diantara kedua belah bibirnya berubah menjadi batang permen lollipop. Tetapi senyum Seungwoo menguar kala mengetahui siapa dalang di balik berubahnya rokok miliknya tersebut.

“Kok tinggal dikit?”

Seungwoo memperlihatkan lollipop yang sebelumnya berada dalam mulutnya tersebut dan orang berada hadapan Seungwoo terkekeh karena Seungwoo akhirnya sadar akan perbedaan ukuran permen lollipopnya.

“Hehe punya aku! Soalnya stok yang baru habis, yaudah kamu makan punyaku aja!”

Seungwoo tersenyum mengetahui alasan yang dilontarkan lelaki tinggi berlesung pipi di hadapannya, Choi Byungchan. Lelaki yang setidaknya lima bulan sudah resmi menjadi kekasihnya dan merubah kehidupannya.

“Kita ke supermarket ya ka? Beli lollipop sama sekalian belanja bulanan buat di apartment kamu”

Seungwoo mengangguk menyetujui saran Byungchan sembari membukakan pintu mobil untuk kekasihnya. Byungchan pun masuk ke dalam mobil milik Seungwoo sesaat setelah mencuri sebuah kecupan dipipinya.


Byungchan berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Seungwoo yang berjalan beberapa langkah di depannya. Seungwoo menoleh dan tertawa kecil sebelum mengeluarkan sebelah tangannya dari dalam jeans untuk kemudian di genggam oleh Byungchan.

Seungwoo kemudian sedikit memperlambat langkahnya karena mengetahui bahwa Byungchan terkadang sulit menyamakan langkah Seungwoo yang terlampau cepat itu. Seungwoo mendorong trolley di dalam supermarket, sedang Byungchan memilih kebutuhan bulanan untuk Seungwoo.

“Coba ka lihat kotak rokok kamu!”

Seungwoo menaikan kedua alisnya bingung sebelum akhirnya menunjukan kotak rokoknya. Byungchan mengangguk mengerti dan menyuruh Seungwoo menyimpan kembali rokoknya di dalam sakunya.

“Buat bulan ini dua bungkus aja ya? Kalo ini engga kesentuh sama sekali, aku bakal nginep di tempat ka seungwoo sebulan lebih. Gimana?”

“Terus kosan kamu? Kamu pindah aja ke tempat aku, kan ada kamar kosong satu”

Byungchan menggeleng dan tersenyum. Sebuah kesepakatan sudah terjadi sebelum Byungchan dan Seungwoo meresmikan hubungan mereka, salah satunya agar Seungwoo dapat mengurangi merokok karena Byungchan tidak bisa mencium bau asap rokok.

Byungchan tidak pernah melarang Seungwoo merokok, tetapi setidaknya Seungwoo dapat mengurangi konsumsi rokoknya terlebih saat bersama Byungchan. Sebagai reward biasanya Byungchan akan bermalam di apartment Seungwoo, tergantung batang rokok yang Seungwoo konsumsi selama sebulan.

“Hm... Oke! Aku janji bakalan pindah ke tempat kamu, kalo dalam dua bulan kamu bisa ngabisin cuma satu bungkus. Gimana?”

Byungchan mencoba membuat kesepakatan dengan kekasihnya yang masih berusaha mengurangi konsumsi rokok tersebut. Seungwoo berfikir sejenak sebelum mengangguk.

“Tapi, beli lollipopnya agak banyakan bisa? Buat taroh di mobil aku juga. Gimana?”

Byungchan tersenyum dan mengangguk antusias. Baik Byungchan maupun Seungwoo akhirnya melanjutkan kegiatan berbelanja mereka setelah perdebatan kecil mereka. Byungchan asik bergelayut manja di lengan Seungwoo, sehingga Seungwoo mudah mencuri kecup di atas puncak kepala Byungchan.

“Aku nginep malem ini, boleh? Soalnya tadi kamu berhasil nahan ngerokok tanpa protes! Hehe”

“Boleh dong, Sayanggg. Kenapa harus ga boleh?”

“Ini kan jumat malem, kaaa! Biasanya kamu ada pesta sama temen-temen kamu, kan?”

Seungwoo berfikir sejenak hingga akhirnya sadar jika ia sudah tidak berkumpul dan berpesta bersama dengan teman-temannya selama dua minggu belakang. Bukan karena larangan Byungchan, tetapi kemauan Seungwoo menghabiskan hari dengan Byungchan daripada menghabiskan hari di sebuah kelab berpesta bersama teman-temannya.

“Hm... Aku malahan lupa! Yaudah aku ga ikut deh. Nanti aku bilang mereka aja, kalo kamu mau nginep di tempatku”

“Nanti temen kamu protes ga? Mereka kan kadang protes kalo kamu ga dateng pesta dan bilang kalo aku ngelarang kamu?”

Byungchan mengerucutkan bibirnya. Ia masih ingat jelas bagaimana teman-teman Seungwoo kerap menyalahkannya karena perubahan pada diri Seungwoo. Mulai dari jarang merokok, meminum alkohol hingga berpesta di kelab malam.

“Sayang... Aku udah pernah bilang berapa kali? Kamu ga pernah melarang aku buat ngelakuin apapun itu kan? Aku ngelakuin itu semua karena aku sayang kamu”

“Kamu pernah bilang, kamu takut aku pergi lebih cepat kalo aku merokok. Atau kamu bilang takut terjadi sesuatu sama aku, kalo aku pesta sampai larut malam. Itu semua alasan logis dan aku ga pernah merasa terbebani”

Byungchan dan Seungwoo kali ini sudah berada di dalam mobil milik Seungwoo lagi. Percakapan keduanya membuat Seungwoo urung menjalankan mobilnya untuk kembali ke kediamannya.

Seungwoo menatap Byungchan yang masih menunduk dan mengerucutkan bibirnya itu. Wajah Byungchan dibawa untuk menatap Seungwoo. Byungchan kemudian menggigit bibirnya saat mata mereka bersitatap.

“Aku suka diri aku yang kayak gini. Aku suka diri aku selama aku sama kamu. Kamu ga pernah ngelarang aku apapun oke? Ini semua aku lakuin karena aku sayang kamu”

Seungwoo menarik Byungchan ke dalam dekapannya. Punggung lelaki yang lebih muda itu ia usap, menenangkan dan memberi isyarat bahwa semua baik-baik saja.

Seungwoo tidak perduli dengan cemooh teman-temannya semenjak ia berkencan dengan Byungchan. Seungwoo bahagia berkencan dengan Byungchan dan tidak merasa tertekan. Bahkan Seungwoo menyukai dirinya saat ini, saat dirinya mempunya label sebagai kekasih seorang Choi Byungchan.

fin

“Tumben, udah bangun?”

Jinhyuk sedikit terkejut saat seseorang menyapanya pagi itu. Jinhyuk tinggal sendiri di sebuah apartment dan tidak mungkin ada orang yang dapat menyapanya di jam tujuh tanpa mengabarinya terlebih dahulu.

“Maaf, aku tadi langsung masuk karena passwordnya belum kamu ubah”

Jinhyuk mengangguk lemah. Sesungguhnya, nyawanya belum benar-benar terkumpul tapi ia sudah di hadapkan oleh pria mungil yang sedang asik mengaduk kopi di dapur milik Jinhyuk.

“Aku mau ambil barang-barangku yang masih ketinggalan, tapi karena tadi kamu maish tidur, aku gaberani masuk kamar. Mau kopi?”

Jinhyuk menatap Wooseok dan mengangguk setelahnya. Satu cangkir kopi panas dan roti panggang sudah tersaji di atas meja makan Jinhyuk pagi itu. Sebuah pemandangan yang sudah jarang di dapatkan sebulan belakang tersebut.

“Mau pergi? Kok tumben bangun pagi?”

Jinhyuk terkekeh kecil. Pertanyaan Wooseok seakan menyindir dirinya yang tidak terbiasa bangun pagi. Padahal, Jinhyuk terlalu terbiasa bangun pagi selama tiga tahun belakang selama Wooseok tinggal bersamanya.

“Udah kebiasaan, lumayan punya banyak waktu agak banyak buat bengong”

Kali ini Wooseok yang tertawa karena jawaban yang dilontarkan Jinhyuk diluar ekspektasinya. Waktu bangun pagi yang digunakan untuk berdiam, jelas bukan pribadi Wooseok. Karena Wooseok akan langsung mandi dan menyiapkan sarapan setelah bangun pagi.

“Sarapan, Hyuk! Jangan biasain skip sarapan. Tau kan kalo sarapan itu penting!”

Jinhyuk menatap Wooseok yang sedang asik memotong kecil roti dalam genggamannya, Sarapan; hal yang biasa dilakukan Woosok. Dahulu, Jinhyuk suka melihat Wooseok membuatkannya sarapan. Ya, Jinhyuk hanya melihat Wooseok membuat sarapan tanpa membantunya.

Dulu, Jinhyuk hanya akan diam di meja makan dan memperhatikan Wooseok sibuk di dapur. Membuat kopi hangat, roti panggang atau menu sarapan sederhana lainnya. Hal yang dilakukan Wooseok yang tidak bisa di kerjakan Jinhyuk saat ini.

“Kalo aku buat sarapan sendiri, bisa-bisa apartmenku kebakaran kali, Seok!”

Wooseok menatap tajam Jinhyuk, membuat Jinhyuk yang awalnya ingin tertawa menjadi menahan tawanya. Wooseok tidak suka jika sebuah musibah dijadikan becandaan. Banyak hal yang dapat dijadikan bahan becandaan, tetapi tidak dengan musibah.

“Gimana, tempat kamu udah rapih?”

Jinhyuk berusaha menghangatkan kembali suasana diantara mereka berdua. Wooseok mengangguk setelah beberapa saat memikirkan pertanyaan Jinhyuk.

“Udah, makanya aku kesini buat ambil barang yang kecil-kecil. Boleh masuk kamar?”

“Hm? Masuk aja, kan kamar kamu juga”

“Dulu, sekarang kan udah beralih lagi jadi kamar pribadi kamu”

Jinhyuk mengangguk sebelum membukakan pintu kamarnya untuk Wooseok dan detik berikutnya Jinhyuk meringis, mendapati betapa berantakan kamar pribadinya. Baju yang berserakan, sprei yang sudah tidak tertata rapih bahkan hampir terbuka sepenuhnya dan selimut yang bergulung di tengah kasur.

Jinhyuk berlari kecil memasuki kamarnya, mengambil beberapa potong baju yang berserakan di lantai, mengambil selimut dan melipatnya lalu merapihkan sprei seperti semula.

“Kayanya kamu salah deh pasang sprei, panjangnya beda tuh”

Jinhyuk mengernyitkan keningnya bingung. Ia baru sadar, selama tiga hari ini ia selalu disibukan dengan sprei yang selalu tak tentu arah yang ternyata di sebabkan oleh kebodohan dirinya sendiri.

“Jangan lupa, ganti sprei minimal seminggu sekali”

Wooseok telaten merapihkan sprei Jinhyuk, membuat Jinhyuk berdiri menatap Wooseok bekerja. Jinhyuk rindu Wooseok dan semua kebiasaannya di apartment tersebut.

Jinhyuk rindu, bagaimana kebiasaan bangun pagi Wooseok membuatnya terbiasa bangun pagi juga. Jinhyuk rindu, bagaimana Wooseok menyiapkannya sarapan padahal saat tinggal seorang diri, Jinhyuk jarang sekali menyatap makan paginya. Jinhyuk rindu semua, rindu saat orang yang pertama dan terakhir kali ia lihat setiap harinya ialah Wooseok.

fin

Byungchan menunduk lesu. Dirinya baru saja dipermalukan oleh atasannya sendiri karena kesalahan kecll yang ia perbuat. Sebuah kesalahan kecil yang sebenarnya bisa di hindari.

“Ulang semua! Saya tunggu sore ini, paling lama jam lima”

Byungchan menarik nafas panjang, rasanya ingin menangis tapi ia tidak mungkin karena ia masih berada di kantor. Byungchan melihat jam kecil diatas meja kerjanya, waktunya makan siang tetapi Byungchan memilih merevisi kembali pekerjaannya.

Setidaknya sudah hampir tiga jam Byungchan berkutat dengan personal computer miliknya untuk merevisi pekerjaannya yang salah hingga salah satu temannya menghampiri dengan sebuah rice box yang di serahkan kepada Byungchan.

“Masih banyak?”

Byungchan menggeleng sebagai jawaban seraya mengucapkan terimakasih kepada temannya tersebut. Dua puluh menit berlalu dan Byungchan masih belum menyentuh rice box yang diberikan oleh temannya.

“Chan, makan dulu! Nanti lo sakit”

“Dikit lagi, Seok... Tangung...”

Wooseok menyerah dan membiarkan temannya tetap bekerja hingga pekerjaannya selesai pada pukul setengah lima sore. Byungchan tersenyum melihat pekerjaan yang telah selesai di revisi dan ia bersiap menemui atasannya kembali.

“Woy! Boss katanya Business Trip seminggu”

Byungchan menoleh saat salah seorang temannya memberitahu sebuah berita yang mengejutkannya. Byungchan mengabaikan jam makan siangnya untuk menyelesaikan pekerjaanya, tetapi sang atasan yang memberi deadline justru sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota.

“Tadi habis makan siang kan ga balik lagi, kata sekretarisnya sih Business trip

Byungchan kembali menunduk lesu. Ingin marah? Jelas. Tetapi, kedudukan Byungchan di perusahaan tersebut tetaplah anak buah yang harus mengikuti apapun perintah atasannya tanpa terkecuali.

“Aw...”

Byungchan meringis saat ia hendak bangun dari kursinya. Perutnya terasa sakit, mungkin efek karena ia mengabaikan makan siangnya. Bahkan Byungchan hanya mengkonsumsi sepotong roti saat sarapan pagi tadi.

“Chan! Tuh kan gue bilang apa, lo harusnya tadi makan dulu... Pulang aja ya? Boss juga udah ga ada kok”

Byungchan menatap Wooseok dan menggeleng. Jujur, saat ini Byungchan bingung. Jika ia harus pulang, ia pasti akan menyusahkan temannya untuk mengantarnya pulang kerumah.

“Sini gue anterin Byungchan balik, jam pulang lima menit lagi kok. Siap-siap ya, Chan!”

Byungchan menoleh dan mendapati punggung besar yang baru saja berbalik. Wooseok menyenggol pelan pundak Byungchan dan membuat Byungchan menatapnya dengan tatapan tidak mengerti seraya menggelengkan kepalanya.

Setahun yang lalu

“Chan, makan yuk!”

Byungchan menoleh dan mendapati Seungwoo berdiri di sebelahnya, Badan Seungwoo di codongkan sedikit untuk melihat pekerjaan yang sedang Byungchan kerjakan saat itu.

“Kamu kayaknya salah deh, Chan....”

Byungchan sedikit menggeser kursi yang ia duduki saat Seungwoo maju dan merevisi pekerjaannya. Byungchan menatap Seungwoo dengan seksama, memperhatikan setiap detail yang Seungwoo revisi.

“Besok kalo ada yang gatau atau ga ngerti, coba tanya aku aja ya?”

Byungchan tersenyum dan mengangguk saat Seungwoo menawarkan dirinya sebuah bantuan. Tetapi setelahnya Byungchan mengercutukan bibirnya ketika melihat jam sudah menunjukan pukul satu lewat dimana jam makan siang telah berakhir.

“Yah... Ka, waktu istirahatnya udah habis... Gara-gara bantuin aku, Ka Seungwoo ga sempet makan siang”

“Pesen aja, kan bisa? Nanti makan di meja sekalian nyelesaiin pekerjaan”

Seungwoo mengusak kepala Byungchan, membuat wajah Byungchan bersemu merah. Setengah jam setelahnya, Seungwoo kembali untuk memberikan makan siang Byungchan yang ia pesan bersama dengan menu makan siangnya.

“Makasih ka!!”

“Jangan kerja, mulu! Makan juga penting, biar ga sakit. Oke?”

Setelah itu, bukan hanya sekali atau dua kali Byungchan meminta pertolongan Seungwoo untuk jenis pekerjaan yang belum ia pahami dan mengerti. Bahkan beberapa kali, Seungwoo menemani Byungchan ketika harus menyelesaikan pekerjaan lewat dari jam kantor.

“Kamu ga makan siang ya?”

Byungchan tersadar dari lamunannya, ia sudah berada di mobil Seungwoo. Jalanan di depannya cukup macet karena waktu karywan pulang bekerja. Byungchan mengangguk lemah tanpa melihat ke arah Seungwoo.

“Aku udah bilang kan, jangan kerja terus. Kalo jam makan siang itu dipakai unuk makan dan bukan buat kerja”

“Segenting apapun kerjaan kamu, usahakan makan. Kalo gabisa makan diluar, kan pesan antar ada? Atau titip Wooseok, dia pasti mau kok kamu titipin makanan”

Byungchan menunduk, mendengar semua omongan Seungwoo yang seratus persen benar. Karena kecerobohannya melewati makan siang, Byungchan harus menerima akibat penyakit lambungnya kembali menyerang.

“Kita makan dulu, aku gatau kalo kamu bakalan makan pas udah sampai rumah atau engga”

Byungchan menatap Seungwoo yang masih fokus ke jalanan di hadapannya. Ia rindu Seungwoo. Ia rindu bagaimana Seungwoo memperhatikannya, bagaimana Seungwoo membantunya di setiap perjalanan hidupnya, dulu.

fin

“Min, bangun! Kang Minhee!! Bangun, kumpulin tugas!!”

Minhee menarik nafasnya panjang sebelum benar-benar membuka kedua matanya. Di hadapannya sudah berdiri seorang gadis yang merupakan ketua kelasnya. Semua mata menatap Minhee yang masih belum berkutik untuk menyerahkan buku tugasnya.

“Udah kumpulin, nanti ditanyain kalo telat”

Minhee menoleh dan mendapati Eunsang yang baru saja menyerahkan sebuah buku tugas yang jelas bukan milik Eunsang, karena Minhee hafal bahkan seluruh buku tugas Eunsang untuk semaa mata pelajarannya.

Gadis berkuncir kuda itu menghentakan kakinya keras karena kesal terhadap sikap Kang Minhee yang aneh akhir-akhir ini. Kang minhee yang kembali sering tertidur di kelas bahkan jarang mengerjakan tugasnya, semua anak dikelas tersebut tau jelas apa penyebabnya.

From: Esa Maaf kemarin aku mengambil buku tugasmu Tulisannya sudah kuubah semirip mungkin Kau tidak usah khawatir Cuci mukamu sebelum guru selanjutnya masuk

Minhee meletakan ponsel pintarnya di kolong meja sebelum bangkit untuk mencuci muka sesuai pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Saat membuka pintu kelas, Minhee berpapasan dengan seorang guru yang akan mengajar dikelasnya.

“Kang MInhee, rapihkan bajumu”

Minhee mengangguk sembari merapihkan bajunya dan berjalan malas ke arah toilet kamar mandi. Minhee menatap kaca di hadapannya beberapa saat setelah mencuci wajahnya, melihat refleksi dirinya sendiri.

Sebulan yang lalu

Minhee yang baru saja masuk ke kelas, berlari kecil menuju seseorang yang tengah fokus dengan buku dihadapannya. Sebuah usapan kecil di kepala, membuat lelaki tersebut menoleh dan tersenyum ketika menatap Minhee.

“Aku sudah mengerjakan tugasku sendiri!”

Minhee memamerkan tugas sekolah yang telah ia selesaikan semalam. Tugas yang tetap ada campur tangan Eunsang, tetapi setidaknya Minhee benar-benar menyelesaikannya sendiri setelah itu. Setelah mendapat pujian berupa ancungan jempol dari Eunsang, Minhee pun berjalan kembali menuju tempatnya.

Selama pelajaran Minhee sesekali menoleh ke arah Eunsang yang kursinya berjarak satu meja darinya. Beberapa kali Eunsang memerintahkan Minhee untuk memperhatikan guru di depan kelas dan bukan memperhatikan dirinya.

“Kalo lagi dikelas, hadap ke depan bukan ke belakang”

Eunsang mengingatkan Minhee ketika mereka berjalan menuju kantin saat jam istirahat. Minhee mengangguk dan menunjukan senyum terbaiknya, membuat Eunsang juga tersenyum setelahnya.

“Nunduk sebentar”

Minhee sedikit menunduk dan mencodongkan badannya ke arah Eunsang yang tubuhnya lebih kecil darinya itu. Eunsang merapihkan anak rambut Minhee yang mencuat kesana kemari akibat Minhee bercanda dengan teman-temannya sebelum kelas berakhir tadi.

“Jangan suka ribut kalo dikelas, kasian yang lain kan ke ganggu”

Kembali ke masa sekarang, kali ini Minhee sedang mengetukan ujung sepatunya ke lantai. Dirinya berdiri di depan kelas setelah guru mendapatinya bercanda dengan temannya saat pelajaran sedang berlangsung.

Minhee sesekali melirik ke dalam kelas. Bukan melihat ke arah gurunya yang sedang menyampaikan materinya, tetapi kepada seorang lelaki yang sedang fokus mendengarkan penjelasan guru. Tanpa ia sadari, ia tersenyum. Minhee tersenyum melihat Eunsang yang sedang fokus di dalam kelas.

Detik berikutnya, tubuh Minhee menegang kala Eunsang juga menatap kearahnya. Eunsang menatap Minhee dengan tatapan kecewa. Minhee tau itu, karena dulu Eusang sering mengingatkan agar tidak terlalu banyak bercanda di dalam kelas tetapi tadi, Eunsang tidak mengingatkannya hingga Minhee harus mendapatkan hukuman diluar kelas seperti saat ini.

Minhee suka saat Eunsang mengingatkan akan tugas yang harus dikumpulkan. Minhee suka saat Eunsang merapihkan rambutnya yang berantakan karena ulah temannya sendiri dan Minhee suka saat Eunsang mengingatkannya dengan hal-hal kecil. Minhee suka saat dirinya masih bersama Eunsang, dulu.

fin

[MASTER FILE] Song: I like me better by Lauv


All ship(s) based on request

I. Minisang

II. Weishin

III. Seungchan

IV. Seungchan 2

V. Verkwan

VI. Weishin 2

VII. Yuyo

VIII. Jaedo

IX. Seuncat

X. Seungseok

Bab II: [di] jodoh [in] Sub-bab: Sebuah Pernikahan


Wooseok melihat sang kakak berdiri gagah bersama pasangannya. Kakak lelaki yang sejak kecil selalu bersamanya, dimulai dari Sekolah Dasar bahkan hingga Universitas yang sama. Bahkan dahulu mereka berbagi kamar hingga Myungsoo memasuki sekolah menengah tinggi.

“Wooseok, ya?”

Wooseok menoleh dan mengangguk seraya tersenyum. Setidaknya ada tiga orang lelaki yang jauh lebih tinggi darinya berdiri di dekat Wooseok atau lebih tepatnya mengitari Wooseok. Mereka adalah Dawon, Shownu dan juga Seungwoo.

“Iya ka bener, udah ketemu Ka El?”

Wooseok berusaha berbicara setenang mungkin, walaupun hatinya berdegup cepat. Bukan karena ada lelaki yang ia sukai atau ada mantan pacarnya, hanya saja Wooseok menghindari bertemu dengan orang baru terlebih lagi harus berbicara dengan orang tersebut.

“Belum masih nunggu Seungyoon sama Shinwon”

Wooseok mengangguk sambil sesekali melirik ke arah kakaknya yang sedang menyalami tamu undangan di atas panggung. Rasanya Wooseok ingin pergi dari tempat tersebut, tapi Wooseok tau diri bahwa tindakan tersebut tidaklah sopan.

“Wooseok, udah selesai kuliah ya?”

Wooseok sedikit terkejut saat seorang teman kakaknya kembali bertanya. Seungwoo, orang yang melontarkan pertanyaan yang membuat jarak mereka berdua berdiri semakin dekat. Karena suasana terlalu ramai, Seungwoo menggeser sedikit posisinya agar lebih dekat dengan Wooseok & lebih nyaman berbicara.

“Udah ka, udah mau tiga tahun”

“Sekarang, kerja? Dimana?”

“Di perusahaan kontraktor ka, ngurusin Dokumen gitu soalnya freash graduate

Seungwoo mengangguk mengerti atas penjelasan Wooseok. Hening kembali menyelimuti keduanya, terlebih Shownu dan Dawon yang sibuk dengan ponsel pintar mereka untuk menghubungi Shinwon dan juga Seungyoon yang masih dalam perjalanan.

“Waktu itu dosen pembimbing skripsinya siapa?”

Entah kenapa dari begitu banyak pertanyaan, yang terlontar dari bibir Seungwoo justru pertanyaan mengenai skripsi yang bahkan sudah di lalui Wooseok hampir tiga tahun itu. Wooseok jelas terkejut, terlihat dari dirinya yang sedikit berfikir”

“Pak Jinyoung ka, waktu itu sempet ganti judul tiga kali terus terancam gagal wisuda juga hehe”

Percakapan Seungwoo dan Wooseok kembali mengalir. Terimakasih untuk pertanyaan random Seungwoo, karena setidaknya mereka bisa berbicara lebih nyaman dengan topik pembicaraan yang sama-sama mereka ketahui.

“Yuk, Woo! Tuh Shinwon sama Seungyoon udah lagi nulis di buku tamu”

Seungwoo mengangguk dan sedikit merapihkan jas kecoklatan yang ia kenakan. Dawon, Shownu dan Seungwoo berpamitan kepada Wooseok sesaat setelah Shinwon dan Seungyoon menghampiri mereka.

“Dek, tolong fotoin!!”

Wooseok memicingkan matanya ketika melihat lambaian tangan sang kakak yang sedang bersama dengan teman-temannya. Wooseok pun berjalan menghampiri mereka untuk mengambil ponsel yang di sodorkan kepadanya.

“Eh satu-satu aja, kan nanti bisa dikirim”

Seungwoo berdeham sambil memperingatkan, karena Dawon, Shinwon dan Seungyoon masing-masing menyerahkan ponsel mereka kepada Wooseok sehingga Wooseok kesulitan memegang tiga telfon genggam yang berbeda tersebut.

“Shinwon kalo ngirim foto lama, mending gue aja!”

“Hape lo bluwek gambarnya! Gue aja”

Wooseok tersenyum canggung mendengar keributan yang di hasilkan oleh teman-teman dekat sang kakak itu. Wooseok pun memilih tetap mengambil gambar dari ketiga foto yang diserahkan kepadanya sebelumnya.

“Dek, anterin ke tempat makan disana ya!”

Wooseok mengangguk menerima arahan sang kakak dan mempersilahkan teman-teman sang kakak menuju sebuah meja yang suah dipersiapkan sebelumnya dengan tulisan SATRIA BAJA HITAM di mejanya.

“Kenapa namanya ini sih?”

“Wah El bener-bener ya? Masa nama mejanya begini?”

“Ini nama mejanya apa gabisa di tutup aja?”

Wooseok tersenyum mendengar komentar dari teman-teman sang kakak dan tanpa sadar, ada seseorang yang juga memperhatikannya tersenyum sehingga membuat orang tersebut sedikit menyunggingkan senyumnya.