Stay.
Ketakutan Hangyul ialah ditinggalkan. Bahkan sampai saat ini saat usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, ketakutan itu masih ada terlebih saat mobil yang ia kendarai saat ini mulai kehilangan arah dan berputar di jalanan lenggang.
Hangyul mencoba tetap sadar mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Salju yang turun seharian, membuat jalanan licin dan tadi, Hangyul terpaksa membanting kemudinya saat sebuah bus oleng tepat dihadapannya.
“Jangan tinggalin aku, please...“ucap Hangyul mencoba menggenggam tangan lelaki disebelahnya yang sudah tidak sadarkan diri. Hangyul masih berusaja tetap sadar walau akhirnya semua menjadi gelap.
Flashback On
Hangyul menatap batu nisan di depannya. Batu nisan dengan nama-nama orang terkasih. Ya, bukan hanya satu tetapi tiga orang. Hangyul harus kehilangan kedua orang tua serta adik kecilnya. Hangyul selalu berfikir seandainya.
Seandainya ia ikut malam itu, mungkin ia tidak akan tinggal sebatang kara seperti ini.
Seandainya ia bisa menggantikan sang ayah menyetir malam itu, mungkin ia tidak akan ditinggalkan seperti ini.
Seandainya ia tidak mempunyai pekerjaan menumpuk malam itu, mungkin ia akan ikut serta bersama keluarganya mengunjungi nenek di kampung halaman.
Seandainya ia mempunyai golongan darah dengan keluarganya, mungkin nyawa mereka akan tertolong.
Begitu banyak kata seandainya yang berlalu lalang difikiran Hangyul hingga tanpa sadar hari sudah berganti malam. Matahari sudah istirahat dengan tenang di peraduannya dan digantikan oleh bulan serta bintang yang mulai bekerja menyinari malam itu.
Setelah hari itu, setiap hari Hangyul selalu berkunjung ke pemakaman setelah selesai bekerja. Demi menghilangkan rasa sepi di apartment, Hangyul akan menghabiskan malamnya di tempat tersebut dan kembali pulang saat sudah tengah malam.
Malam ketujuh, hujan yang turun membasahi area pemakaman tidak menyurutkan niat Hnagyul untuk tetap mengunjungi kedua orang tua dan adiknya. Hangyul membawa tiga jenis bunga berbeda sesuai dengan kesukaan setiap anggota keluarganya.
“Permisi...”
Hangyul menoleh dan mendapati seseorang memberikannya sebuah payung hitam besar. Hnagyul menerima payung tersebut dan setelahnya, orang yang tidak Hangyul ketahui namanya itu berlari kecil keluar dari area pemakaman.
Hangyul kembali dari pemakaman saat jam menunjukan hampir pukul sepuluh malam dan hujan sudah berhenti setidaknya setengah jam yang lalu. Hangyul menyipitkan kedua matanya saat menangkap seseorang sedang berdiri di halte tepat di depan area pemakaman.
Entah apa yang mendasari pergerakan Hangyul setelahnya, karena ia justru melangkahkan kakinya menuju halte dan bukan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat ia berdiri saat ini.
“Permisi, maaf apa ini payungmu?“ucap Hangyul pelan membuat seseorang dihadapannya itu sedikit terkejut dan mengangguk setelahnya.
“Maaf, saya fikir anda lebih memerlukannya. Karena yang saya tau, anda akan berada di pemakaman setidaknya hingga pukul sebelas malam”Hnagyul terdiam karena ucapan orang di hadapannya. Bagaimana bisa lelaki tersebut mengetahui kebiasaan Hangyul seminggu belakangan ini?
“Namaku Hangyul...“ucap Hangyul mengulurkan tangan kanannya.
“Sihun, namaku Kim Sihun”ucap lelaki di hadapan Hnagyul sambil tersenyum.
“Sepertinya bis tidak akan lewat lagi, mau saya antar? Saya janji akan antar sampai rumah”ucapan Hangyul membuat wajah sayu Sihun berubah gembira seketika.
“Ah terimakasih! Aku sudah menunggu bisa selama sejam, tapi tidak kunjung datang”ucap Sihun masih dengan senyum di wajahnya.
Pertemuan dan perkenalan Hangyul dengan Sihun malam itu membuat mereka berdua semakin dekat setiap harinya. Hangyul dan Sihun bahkan sesekali akan mengunjungi pemakanan di malam yang sama untuk mengunjungi keluarga mereka.
“Ibuku bilang, orang akan datang dan pergi. Sebenci apapun kita dengan perpisahan atau ditinggalkan, setiap ada pertemuan pasti suatu saat tetap akan ada perpisahan. Itu sudah hukum alam”ucap Sihun malam itu saat Hangyul dan Sihun sedang menyantap makan malam bersama.
“Aku ditinggal ayahku saat umurku lima tahun, saat itu aku tidak tau apa itu perpisahan. Tetapi, saat umurku dua belas tahun dan kakak lelakiku juga pergi meninggalkanku, aku mulai mengerti apa itu perpisahan. Aku lebih mengerti, bahwa sampai kapanpun kita harus siap untuk ditinggalkan”ucap Sihun melanjutkan.
“Tapi aku tidak suka ditinggalkan, rasanya sepi...“ucap Hangyul pelan.
“Belajar pelan-pelan ya? Belajar memahami apa itu perpisahan, biar kamu ga takut lagi untuk ditinggalkan”ucap Sihun sambil tersenyum ke arah Hangyul.
Flashback Off
Sihun menatap Hangyul yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah pucat itu tidak menunjukan tanda-tanda pergerakan sama sekali. Kecelakaan yang mereka alami sebulan lalu, masih membuat Hangyul tertidur tenang.
Malam itu, Hangyul melamar Sihun dengan sangat mewah. Tidak perlu waktu lama untuk Sihun menjawab lamaran Hangyul. Setelah makan malam mewah tersebut, Hangyul dan Sihun berencana pergi ke pemakanan dimana orang tua Hangyul dan Sihun dimakamkan.
Tetapi, malam itu mereka tidak pernah sampai di pemakaman. Hangyul dan Sihun tidak pernah sampai ditempat dimana mereka berniat meminta restu kepada orang tua mereka.
“Masih belum ada perkembangan yang berarti”ucap dokter saat memeriksa keadaan Hangyul siang itu.
Sihun memijit pelipisnya pelan. Hangyul dengan segala alat bantu ditubuhnya saat ini masih belum menunjukan perkembangan. Tetapi, Sihun juga tidak tega jika harus melepas alat bantu tersebut dan melihat Hangyul harus menderita kesakitan.
“Terimakasih untuk semuanya selama ini. Aku janji bakalan terus bareng-bareng sama kamu sampai tua nanti!”
Sihun teringat dengan perkataan yang Hangyul katakan saat menyematkan sebuah cincin di jari manis Sihun setelah Sihun meneeima lamaran Hangyul malam itu. Sebuah janji yang membuat Sihun berlari kecil untuk menemui dokter.
●●●
“Hangyul... Sayang... Aku ga apa-apa kok. Aku percaya, kamu akan selalu nepatin janji kamu sama aku. Mungkin ga selalu disamping aku, tapi kamu akan selalu bareng-bareng sama aku disini”Sihun menahan tangisnya, meletakan tangan dingin Hangyul di dadanya.
“Hangyul... Sayang... Aku ikhlas...“ucap Sihun lagi dengan terbata.
“Aku tau kamu sayang sama aku, karena aku juga akan selalu sayang sama kamu... Aku ga apa-apa disini sendirian kok, sayang...“Sihun mengigit bibir bawahnya saat melihat Hangyul meneteskan air matanya.
“Makasih buat tiga tahun terindahnya....“Sihun mengecup bibir pucat Hangyul sebelum beberapa alat menimbulkan bunyi bip dan membuat Sihun menjerit.
“Maaf... Aku yang benci perpisahan dan ditinggalkan, tetapi justru aku yang meninggalkan kamu lebih dulu. Aku sayang kamu, Sihun...” Hangyul sudah tidak bisa memeluk raga yang sedang menjerir tersebut. Tetapi Hangyul sesuai janjinya, aku selalu disisi Sihun walau dalam bentuk lain.
fin